PENGERTIAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH
Thursday, 7 April 2016
Add Comment
PENGERTIAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH
A. PENGERTIAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH
Problem based learning atau pembelajaran berbasis
masalah adalah suatu model pembelajaran yang dimulai dengan menghadapkan siswa
pada masalah nyata atau masalah yang disimulasikan. Pada saat siswa berhadapan
dengan masalah tersebut, maka ia akan menyadari bahwa untuk menyelesaikannya ia
akan menggunakan kemampuan
berpikir kritisnya, pendekatan sistematiknya dan diperlukan pengintegrasian
informasi dari berbagai disiplin ilmu. Sedangkan jika ditinjau dari
variabel tugasnya, maka masalah yang diajukan harus dapat dipahami siswa, yaitu
dapat berkenaan dengan pengalaman siswa di rumah, pengalaman di sekolah, dan
pengalaman ia sebagai anggota masyarakat.
Pembelajaran berbasis masalah merupakan model pembelajaran
yang berlandaskan paham konstruktivistik yang mengakomodasi keterlibatan siswa
dalam belajar dan pemecahan masalah otentik. Dalam pemerolehan informasi dan
pengembangan pemahaman tentang topik-topik, siswa belajar bagaimana
mengkonstruksi kerangka masalah, mengorganisasikan dan menginvestigasi masalah,
mengumpulkan dan menganalisis data, menyusun fakta, mengkonstruksi argumentasi mengenai
pemecahan masalah, bekerja secara individual atau kolaborasi dalam pemecahan
masalah.
Sears
dan Hersh (2001:7) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah dapat
melibatkan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah. Selanjutnya Pierce dan
Jones (2001:71–74) menyatakan tentang dua macam tipe pembelajaran berdasarkan
pada digunakan atau tidaknya pembelajaran berbasis masalah (PBL) itu. Jika di
dalam pembelajaran ternyata tidak banyak menggunakan karakteristik PBL, maka
pendekatan pembelajaran itu tergolong Low PBL. Sebaliknya, jika
karakteristik PBL banyak muncul dalam pembelajaran itu, maka pendekatan
pembelajaran itu tergolong High PBL.
PBL dikatakan sebagai model pembelajaran oleh karena
mempunyai :
Sintaks
Menurut Ismail (dalam
Ratnaningsih,2003) pembelajaran berbasis masalah biasanya terdiri dari
lima tahapan utama, yaitu:
1.
Orientasi siswa pada
masalah dengan cara guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik
yang dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah.
2.
Mengorganisasikan siswa
untuk belajar dengan cara guru membantu siswa dalam mendefinisikan dan
mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
3.
Membimbing penyelidikan
individual dan kelompok dengan cara guru mendorong siswa untuk mengumpulkan
informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan
pemecahan masalah.
4.
Mengembangkan dan
menyajikan hasil karya dengan cara guru membantu siswa dalam merencanakan dan
menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan.
5.
Manganalisis dan
mengevaluasi proses pemecahan masalah dengan cara guru membantu siswa untuk
melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan siswa dan proses yang
digunakan.
Lima
langkah pembelajaran Model Pembelajaran Berbasis Masalah menurut
Arend et al., (dalam Santyasa:2007) yaitu:
1.
Guru mendefisikan atau
mempresentasikan masalah atau isu yang berkaitan (masalah bisa untuk satu unit
pelajaran atau lebih, bisa untuk pertemuan satu, dua, atau tiga minggu, bisa
berasal dari hasil seleksi guru atau dari eksplorasi siswa),
2.
Guru membantu siswa
mengklarifikasi masalah dan menentukan bagaimana masalah itu diinvestigasi
(investigasi melibatkan sumber-sumber belajar, informasi, dan data yang
variatif, melakukan surve dan pengukuran),
3.
Guru membantu siswa
menciptakan makna terkait dengan hasil pemecahan masalah yang akan dilaporkan
(bagaimana mereka memecahkan masalah dan apa rasionalnya),
4.
Pengorganisasian laporan
(makalah, laporan lisan, model, program komputer, dan lain-lain), dan
5.
Presentasi (dalam kelas
melibatkan semua siswa, guru, bila perlu melibatkan administator dan anggota
masyarakat).
Sistem Sosial
Sistem Sosial yang mendukung model ini adalah kedekatan guru
dengan siswa dalam proses teacher-asisted instruction, minimnya peran
guru sebagai transmitter pengetahuan, adanya interaksi sosial yang efektif dan
latihan investigasi masalah kompleks.
Prinsip Reaksi
Prinsip
reaksi yang dapat dikembangkan adalah peranan guru sebagai pembimbing dan
negosiator. Peran-peran tersebut dapat ditampilkan secara lisan selama proses
pendefinisian dan pengklarifikasian masalah.
Dampak Pembelajaran
Dampak
pembelajaran adalah pemahaman tentang kaitan pengetahuan dengan dunia nyata,
dan bagaimana menggunakan pengetahuan dalam pemecahan masalah kompleks.
Dampak Pengiring
Dampak
pengiringnya adalah mempercepat pengembangan self-regulated learning,
menciptakan lingkungan kelas yang demokratis, dan efektif dalam mengatasi
keragaman siswa.
b. Prinsip
dan Karakteristik pembelajaran berbasis masalah
Sejumlah
studi cenderung untuk mengindikasikan bahwa penggunaan pendekatan tertentu
dapat secara efektif meningkatkan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah.
Sebagai contoh, Charles dan Lester’s (dalam Suryadi, 2001:56) menyampaikan
bahwa program pemecahan masalah matematik dapat meliputi aspek-aspek sebagai
berikut: (1) material pembelajaran untuk pemecahan masalah; (2) petunjuk
tentang cara membangun situasi ruang kelas yang mendukung untuk pemecahan
masalah, mengelompokkan siswa untuk pengajaran, dan untuk mengevaluasi
kemampuan siswa; dan (3) strategi pembelajaran untuk pemecahan masalah, yang
dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk memahami dan merencanakan strategi
pemecahan suatu masalah.
Sedangkan karakteristik PBL itu meliputi:
a. Engagement, yang meliputi beberapa
hal, seperti: (1) guru menyiapkan siswa agar dapat berperan sebagai self-directed
problem solvers yang dapat bekerja sama dengan pihak lain, (2) menghadapkan
siswa pada situasi yang memungkinkan mereka dapat menemukan masalahnya, dan (3)
menyelidiki hakekat permasalahan yang dihadapi sambil mengajukan dugaan-dugaan,
rencana penyelesaian, dan lain-lain.
b. inquiri and
investigation, yang
meliputi beberapa hal, seperti: (1) melakukan eksplorasi berbagai cara
menjelaskan kejadian serta implikasinya, dan (2) menggumpulkan dan mendistribusikan
informasi.
c. Performance, meliputi menyajikan
temuan-temuan,
d. Debriefing, yang meliputi: (1) mengakui
kekuatan dan kelemahan solusi yang dihasilkan, dan (2) melakukan refleksi
terhadap efektivitas pendekatan-pendekatan yang telah digunakan dalam
menyelesaiakan masalah.
e. Using multiple contexts (Penggunaan
konteks yang beragam). Teori-teori
kognisi menyatakan bahwa perkembangan pengetahuan anak tidak dapat dipisahkan
dari konteks fisik dan sosial. Dengan demikian, pengetahuan guru tentang
bagaimana dan dimana siswa dapat memperoleh dan membangun pengetahuan merupakan
bagian yang sangat mendasar dalam proses pembelajaran. Konteks dan aktivitas
perlu diciptakan dalam bentuk yang bermakna bagi siswa karena pengalaman
pembelajaran kontekstual akan meningkat jika siswa belajar dalam beragam
konteks, misalnya dalam konteks di sekolah, di rumah, dan di masyarakat.
Pada
beberapa tahun terakhir ini para pendidik dan peneliti banyak mencurahkan
perhatiannya dalam pengembangan tentang aspek-aspek yang dipelajari di sekolah,
agar aspek-aspek itu dapat dimanfaatkan dalam konteks kehidupannya di luar
sekolah. Hal ini tampak dari kecenderungan mereka untuk mencoba menghadirkan
konteks yang lebih bermakna dan seting yang lebih sesuai dalam proses pembelajaran
di ruang kelas. Dengan demikian, jika anak telah meninggalkan sekolah, maka
pengetahuan yang telah diperolehnya dari sekolah itu dapat dimanfaatkan bagi
kehidupannya dalam masyarakat.
Gotoh
(2004) mengungkapkan bahwa berpikir matematis dalam memecahkan masalah terdiri
atas 3 tingkat yang dinamakan aktivitas empiris (informal), algoritmis (formal)
dan konstruktif (kreatif). Dalam istilah lain Ervynck (dalam Sriraman, 2005) menamakan
tingkat teknis persiapan, aktifitas algoritmis dan aktifitas kreatif (konseptual,
konstruktif). Dalam tingkat pertama, berbagai teknik atau aplikasi praktis dari
aturan dan prosedur matematis digunakan untuk memecahkan masalah tanpa suatu
kesadaran yang pasti/tertentu, sehingga masih dalam coba-coba. Dalam tingkat kedua,
teknik-teknik matematis digunakan secara eksplisit untuk menuju operasi, penghitungan,
manipulasi dan penyelesaian masalah. Pada tingkat ketiga, pengambilan keputusan
yang non algoritmis ditunjukan dalam memecahkan masalah non-rutin seperti suatu
masalah penemuan dan pengkonstruksian beberapa aturan.
Tingkatan
yang dikembangkan ini menunjukkan klasifikasi cara siswa memecahkan masalah
matematika dengan memanfaatkan konsep-konsep matematika yang sudah diketahui.
Tingkat pertama, siswa memecahkan masalah dengan coba-coba. Tingkat kedua, ia
menggunakan langkah matematis yang sudah diketahui dan tingkat ketiga, ia mampu
menciptakan langkah matematis sendiri.
Pembagian
ini mengesankan bahwa penyelesaian dari masalah maupun langkah yang diberikan
tunggal. Tidak tampak bagaimana produktivitas siswa melahirkan ide-ide dan
menerapkannya untuk menyelesaikan masalah. Dalam matematika, Haylock (1997)
menjelaskan bahwa untuk mengenal berpikir kreatif adalah dengan melihat respons
siswa dalam memecahkan masalah dengan memperhatikan proses dan berpikir
divergen yang meliputi fleksibilitas, keaslian dan kelayakan (appropriateness/useful).
c. Kelebihan dan kekurangan Problem Based Learning
Berdasarkan hasil penelitian Nauli (2002:39) pembelajaran
berbasis masalah mempunyai beberapa kelebihan, antara lain sebagai berikut.
1.
Siswa lebih berperan aktif dalam pembelajaran atau
keterlibatan siswa dalam pembelajaran semakin meningkat.
2.
Pengetahuan yang dikonstruksi oleh siswa secara mandiri akan
membuat pengetahuan yang diperolehnya tidak mudah begitu saja dilupakan.
3.
Meningkatkan keterampilan berpikir siswa baik secara
individu maupun kelompok.
4.
Menjadikan siswa lebih mandiri dan lebih dewasa, mampu
memberikan aspirasi dan menerima pendapat orang lain, serta menanamkan sikap
sosial yang positif di antara siswa.
5.
Siswa dapat merasakan manfaat pembelajaran matematika sebab
masalah masalah yang diselesaikan dikaitkan langsung dengan masalah kehidupan
sehari-hari. Hal ini dapat meningkatkan motivasi dan ketertarikan siswa
terhadap matematika.
6.
Pengkondisian siswa dalam belajar kelompok kecil maupun
dalam kelompok besar (kelas) yang saling berinteraksi terhadap guru dan
temannya dan dengan adanya kemungkinan menemukan konsep matematika akan membuat
pelajaran matematika menjadi lebih menarik, sehingga pencapaian ketuntasan
belajar siswa dapat diharapkan.
PBL merupakan salah satu
pembelajaran yang konstruktivis, menurut Ratumanan (2002:101) bahwa kendala
yang mungkin muncul dalam penerapan konstruktivis di kelas, antara lain sebagai
berikut.
1.
Sulit merubah keyakinan dan kebiasaan guru, karena guru
selama ini telah terbiasa mengajar dengan menggunakan pendekatan tradisional.
2.
Guru mengalami kesulitan dalam membuat permasalahan otentik.
3.
Guru kurang tertarik dan mengalami kesulitan mengelola
kegiatan pembelajaran berbasis konstuktivisme, karena guru dituntut lebih
kreatif dalam merencanakan kegiatan pembelajaran dan dalam memilih/menggunakan
media yang sesuai.
4.
Adanya anggapan guru bahwa penggunaan metode atau pendekatan
baru dalam pembelajaran akan menggunakan waktu yang cukup lama, sehingga
khawatir target pencapaian indikator tidak dicapai.
5.
Siswa telah terkondisi untuk bersifat menunggu informasi
(transfer pengetahuan) dari guru. Mengubah sikap “menunggu informasi” menjadi
“pencari dan pengkonstruksi informasi” merupakan kendala tersendiri.
6.
Budaya negatif di lingkungan rumah juga merupakan suatu
kendala. Di lingkungan rumah anak tidak bebas mengekspresikan perasaan dan
pemikirannya, misalnya: pendapat orang tua selalu dianggap paling benar, anak
dilarang membantah pendapat orang tuanya. Kondisi ini juga terbawa ke sekolah,
siswa terkondisi untuk “mengiyakan” pendapat atau penjelasan guru dan siswa
tidak berani mengemukakan pendapatnya yang mungkin berbeda dengan gurunya.
PENGERTIAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH
PENGERTIAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH
0 Response to "PENGERTIAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH"
Post a Comment