PENGERTIAN PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP (LIFE SKILLS)
Monday, 11 April 2016
Add Comment
PENGERTIAN PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP
(LIFE SKILLS)
A. Konsep Life Skills atau kecakapan
hidup dalam Pendidikan
Mengenai
pengertian pendidikan life skills atau
pendidikan kecakapan hidup terdapat perbedaan pendapat, namun esensinya tetap sama. Life skills atau
kecakapan hidup adalah sebagai pengetahuan dan kemampuan yang
diperlukan oleh seseorang agar menjadi independen dalam kehidupan. Pendapat
lain mengatakan bahwa life skills
merupakan
kecakapan yang harus dimiliki oleh seseorang agar dapat bahagia dalam kehidupan
(Brollin, 1980). Malik Fajar (2002) mengatakan, life skills
adalah kecakapan yang dibutuhkan untuk bekerja selain dalam bidang akademik.
Sementara itu team
Broad base
education Depdiknas mendefenisikan life skills
sebagai kecakapan yang dimiliki oleh seseorang agar berani dan mau menghadapi
segala permasalahan kehidupan dengan aktif dan proaktif sehingga dapat menyelesaikannya.
Konsep Life
Skills di sekolah merupakan wacana pengembangan kurikulum yang telah
sejak lama menjadi perhatian para pakar kurikulum (Tyler, (1947); Taba,
(1962), dalam Satori, 2003:1).
Life skills merupakan salah satu
fokus analisis dalam pengembangan kurikulum pendidikan sekolah yang menekankan
pada kecakapan atau keterampilan hidup untuk bekerja atau dalam
kajian pengembangan kurikulum isu tersebut dibahas dalam pendekataan studies
of
contemporary life outside the school atau curriculum design focused on social
functions activities. Life skills adalah pengetahuan dan sikap yang diperlukan
seseorang untuk bisa hidup bermasyarakat. Life skills memiliki makna
yang lebih luas dari employability skills dan vocational skills. Keduanya
merupakan bagian dari program life skills. menjelaskan bahwa “life
skills constitute a continum of knowledge and aptitudes that are necessary for
a person to function effectively and to avoid interruption of employment
experience”. Dengan demikian life skills dapat dijelaskan sebagai kecakapan
untuk hidup ( Brollin, 1980).
Pengertian
hidup di sini, tidak semata-mata memiliki kemampuan tertentu saja (vocational
job), namun ia harus memiliki kemampuan dasar pendukungnya secara
fungsional seperti membaca, menulis, menghitung, merumuskan dan memecahkan
masalah, mengelola sumber-sumber daya, bekerja dalam tim atau kelompok, terus belajar di tempat bekerja,
mempergunakan teknologi, dan sebagainya (Djatmiko, 2004).
Employability
skills mengacu kepada serangkaian keterampilan yang mendukung seseorang
untuk menunaikan pekerjaannya secara berhasil. Employability skills terdiri
dari 3 (tiga) gugus keterampilan, yaitu:
1. Keterampilan dasar
2. Keterampilan berfikir tingkat
tinggi
3. Karakter dan keterampilan afektif.
Keterampilan
dasar terdiri dari, kecakapan berkomunikasi lisan (berbicara dan mendengar/menyimak), membaca (khususnya mengerti dan dapat
mengikuti alur berfikir), penguasaan dasar-dasar berhitung, dan
terampil menulis. Keterampilan berfikir tingkat tinggi mencakup : pemecahan
masalah, startegi dan keterampilan belajar, berfikir inovatif dan
kreatif, serta membuat keputusan. Karakter dan keterampilan apektif mencakup :
(1) tanggung jawab; (2) sikap positif terhadap pekerjaan; (3) jujur, hati-hati,
teliti, dan efisisen; (4) hubungan antar pribadi, kerjasama, dan bekerja dalam
tim; (5) percaya diri dan memiliki sikap positif terhadap diri sendiri; (6)
penyesuaian diri dan fleksibel; (7) penuh antusias dan motivasi; (8) disiplin
dan penguasaan diri; (9) berdandan dan berpenampilan menarik; (10) jujur dan
memiliki integritas, serta; (11) mampu bekerja mandiri tanpa pengawasan
(Anonim, 2008).
Vocational
skills atau keterampilan kejuruan mengacu kepada satu keutuhan keterampilan
yang diperlukan seseorang untuk bekerja. Inti dari vocational skills adalah
specific occupational skills, yaitu keterampilan khusus untuk melakukan
pekerjaan tertentu. Keterkaitan di antara life skills, employability skills,
vocational skills dan specific occupational skills dapat digambarkan
dalam model berikut: Model hubungan fungsional antara life skills,
employability skills, vocational skills, specific occupational skills (Satori,
2003).
Dari model di
atas dapat dipahami bahwa pengembangan program pendidikan di SLTA difokuskan
pada penguasaan specific occupational skills (keterampilan pekerjaan
tertentu/spesipik). Sedangkan di SLTP difokuskan pada penguasaan employability
skills or general skills. Jadi, program tersebut merupakan elaborasi yang
dengan sendirinya dijiwai oleh pemaknaan life skills, employability skills, dan
vocational skills. Apabila dipahami dengan baik, dapat dikatakan bahwa life
skills dalam konteks kepemilikan specific occupational skills ataupun
general skills sesungguhnya diperlukan oleh setiap orang. Ini berarti
bahwa pengembangan program life skills dalam pemaknaan tersebut di atas
sepatutnya menyatu dengan program pendidikan di sekolah (Anonim, 2008).
Dengan
demikian, dalam konsep pendidikan di sekolah, semua anak yang dinyatakan telah
menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu sepatutnya telah memiliki life
skills (Satori,2003:3). Dalam pendidikan sekolah di Indonesia,
masalah tersebut menjadi sangat relevan jika dikaitkan dengan banyaknya
kelompok lulusan baik SLTP maupun SLTA yang tidak melanjutkan sekolah.
Pengembangan
program life skills pada jenjang tersebut diharapkan dapat menolong
mereka untuk memiliki harga diri dan kepercayaan diri dalam mencari nafkah
dalam konteks peluang yang ada di lingkungan masyarakatnya.
B. Pengembangan program pendidikan di
sekolah dalam konteks penerapan life skills.
Penyelenggaraan
program pendidikan di sekolah yang mengarah kepada penguasaan keterampilan
tertentu specific occupational skills atau peran sebagai warga negara
yang bertanggung jawab, memiliki kesiapan serta kecakapan untuk bekerja, dan
memiliki karakter dan etika untuk terjun ke dunia kerja. Oleh karenanya,
cakupan life skills amat luas seperti communication skills, decision
making skills, resources and time management skills, and planning skills. Pengembangan
program life skills pada umumnya bersumber pada kajian bidang-bidang
berikut: (1) The world of Work, (2) Practical Living Skills, (3) Personal
Growth and Management, and (4) Social Skills (Anonim, 2008).
Pelaksanaan
program life skills ini menuntut pemahaman profesional, sehingga dapat
bermanfaat dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan sekolah. Secara spesifik,
para kepala sekolah /guru sebagai tenaga kependidikan perlu mengkaji dan
memahami program ini secara benar, agar dalam penyelenggaraan program
belajarnya tercermin adanya pemahaman yang benar dalam konteks bakat, minat,
kebutuhan para siswa, potensi kelembagaan sekolah, aspirasi orang tua,
masyarakat, dan lingkungan sekolah. Nuansa pengembangan prakarsa dan inisiatif
dengan tidak meminta ”petunjuk dari atas” sangat diperlukan dalam penyelenggaraan
program life skills (Anonim, 2008).
Life Skills merupakan
kemampuan yang diperlukan sepanjang hayat, kemampuan berkomunikasi yang
efektif, kemampuan bekerja sama, menjadi warga negara yang bertanggung jawab,
memiliki kecakapan untuk bekerja, memiliki karakter, dan cara-cara berfikir
analitis dan logis (Komariah, 2003).
Selain itu
cakupan life skills amat luas, meliputi keterampilan, berkomunikasi,
keterampilan mengambil keputusan, keterampilan mengelola waktu dan sumber,
serta keterampilan merencanakan. Pengembangan program life skills pada
umumnya bersumber pada kajian bidang: dunia kerja (the world of work), keterampilan
hidup praktis (practical living skills), pengelolaan dan pertumbuhan SDM
(personal growth and management), dan keterampilan sosial (social
skills) (Anonim, 2008).
Kecakapan
hidup lebih luas dari keterampilan untuk bekerja, apalagi sekedar keterampilan
manual. Artinya kecakapan hidup ini mencakup kemampuan individu untuk
menyelesaikan berbagai persoalan kehidupannya yang bersifat praktek sosial
maupun individual. Outcome pendidikan dapat digolongkan menjadi dua,
yaitu: konsumtif dan investatif (Schultz, 1963). Aspek konsumtif berhubungan
dengan kesenangan manfaat-manfaat yang diterima oleh siswa, keluarga, dan
masyarakat keseluruhan. Siswa bisa saja mengalami konsumtif yang kurang baik,
namun kegiatan-kegiatan seperti musik, olah raga, seni, dan kerajinan bisa
membantu kesenangan siswa di sekolah. Keluarga merasa diringankan tugasnya
ketika anaknya berada di sekolah, manfaat yang besar pun dirasakan oleh guru
dan orang lain (Wisbrod, 1962:116- 118). Masyarakat pun memperoleh manfaat
konsumtif dengan berkurangnya tingkat kejahatan. Orang-orang merasa senang
melihat para ramaja belajar, bermain, dan berprilaku dan bisa saja mereka itu bersaing
dalam lapangan kerja dalam tempo 3 sampai 4 tahun. Outcome pendidikan
dapat membentuk:
1. Kemampuan
dasar. Keberhasilan siswa dalam mencapai kemampuan berhitung dan membaca;
2. Kemampuan
kejuruan. Dapat segera digunakan untuk bekal hidup di masyarakat;
3. Kreativitas. Merupakan ukuran untuk
menilai keberhasilan sekolah dengan bertambahnya krativitas anak (manfaat
investatif);
4. Sikap. Salah satu fungsi sekolah
adalah membentuk sikap yang “baik” sikap in meliputi untuk diri sendiri, teman,
keluarga;
5. Output
lain.
Ada beberapa
prinsip yang harus dipakai dalam melaksanakan pendidikan kecakapan hidup,
antara lain : (1) pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup tidak mengubah sistem
pendidikan yang berlaku saat ini, (2) tidak mereduksi pendidikan menjadi hanya
suatu pelatihan, (3) etika sosial-relegiusbangsa Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dapat diintegrasikan, (4) pembelajaran memakai prinsip learning to know,
learning to do, learning to be, learning to live together, dan learning to
cooperate, (5) pengembangan potensi wilayah dapat direflesikan dalam
penyelenggaraan pendidikan, (6) menerapkan manajemen berbasis sekolah dan
masyarakat, kolaborasi semua unsure terkait yang ada dalam masyarakat, (7)
paradigm learning
for life da school
to work dapat menjadi dasar semua kegiatan pendidikan sehingga lembaga
pendidikan secara jelas memilikipertautan dengan dunia kerja dan pihak lain
yang relevan, (8) penyelenggaraan pendidikan harus selalu diarahkan agar
peserta didik menuju hidup yang sehat, dan berkualitas, mendapatkan pengetahuan
dan wawasan yang luas serta memiliki akses untuk mampu memenuhi hidupnya secara
layak (Pardjono, 2002).
Harapan mulai
tertuju pada bidang pendidikan. Bidang ini diharapkan mampu membuat terobosan (breaktrough)
untuk dapat memproduksi sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan
mandiri. Sumber daya manusia yang diharapkan dapat dihasilkan dari pendidikan
menengah atas, adalah sumber daya manusia yang berkualitas yang mampu bertahan,
walaupun dalam keadaan bagaimanapun sulitnya harus mampu mandiri untuk menolong
dirinya sendiri dan orang lain untuk bisa keluar dari permasalahan yang
dialami. Dunia pendidikan mulai banyak membicarakan tentang relevansi
pendidikan dan dunia kerja, link and match dan dual system program
(Anonim, 2008).
BACA
JUGA : PENDIDIKAN KARAKTER
PENGERTIAN PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP (LIFE SKILLS)
0 Response to "PENGERTIAN PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP (LIFE SKILLS)"
Post a Comment