PENGERTIAN MODEL PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH
Thursday, 7 April 2016
Add Comment
PENGERTIAN MODEL PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH
A. Ciri model pembelajaran berbasis masalah
Pembelajaran berdasarkan masalah dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan kepada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah.
Menurut Sanjaya (2007), ada tiga ciri utama pembelajaran berdasarkan masalah, yaitu:
1. Pembelajaran berdasarkan masalah merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran, artinya dalam implementasinya ada sejumlah kegiatan yang harus dilakukan mahasiswa. Melalui pembelajaran berdasarkan masalah mahasiswa aktif berpikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah data, dan akhirnya menyimpulkan.
2. Aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah. Pembelajaran berdasarkan masalah menempatkan masalah sebagai kata kunci dari proses pembelajaran. Artinya, tanpa masalah maka tidak mungkin ada proses pembelajaran.
3. Pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan berpikir secara ilmiah. Berpikir dengan menggunakan metode ilmiah adalah proses berpikir deduktif dan induktif. Proses berpikir ini dilakukan secara sistematis dan empiris. Sistematis artinya berpikir ilmiah dilakukan melalui tahapan-tahapan tertentu, sedangkan empiris artinya proses penyelesaian masalah didasarkan pada data dan fakta yang jelas.
Demikian halnya Ibrahim (2000), mengemukakan ada empat ciri utama pembelajaran berdasarkan masalah, yaitu:
1) Mengorientasikan mahasiswa kepada masalah autentik
Pada tahapan ini Dosen menyusun skenario yang dapat menarik perhatian mahasiswa, sekaligus memunculkan masalah yang benar-benar nyata dilingkungan mahasiswa serta dapat diselidiki oleh mahasiswa untuk menemukan jawabannya. Mengorientasikan mahasiswa kepada masalah yang autentik ini dapat berupa cerita, penyajian fenomena tertentu, atau mendemonstrasikan suatu kejadian yang mengandung munculnya permasalahan atau pertanyaan. Mendemonstrasikan kejadian-kejadian yang memunculkan konflik kognitif diyakini sangat baik untuk mengorientasikan mahasiswa kepada masalah ini.
2) Berfokus pada keterkaitan antar disiplin
Meskipun pembelajaran berdasarkan masalah berpusat pada pelajaran tertentu, misalnya Kimia tetapi masalah yang dipilih benar-benar nyata agar dalam pemecahannya mahasiswa dapat meninjau dari berbagai mata pelajaran yang lain
3) Penyelidikan autentik
Pembelajaran berdasarkan masalah mengharuskan mahasiswa melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata. Mereka harus menganalisis dan mendefinisikan masalah, menyusun hipotesis, mengumpulkan dan menganalisis informasi/data, melakukan percobaan, membuat inferensi, dan merumuskan simpulan
4) Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya
Pembelajaran berdasarkan masalah menuntut mahasiswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata dan memamerkan. Karya tersebut dapat berupa rekaman debat, laporan, model fisik, video, dan program komputer, dan lain-lain.
Sudjana (1991) mengemukakan bahwa model mengajar ini merupakan model yang mengandung aktivitas belajar mahasiswa cukup tinggi. Model ini tepat digunakan untuk mengajarkan konsep dan prinsip. Aktivitas mahasiswa dimulai dengan mengidentifikasi masalah, kemudian mencari alternatif pemecahannya, menilai setiap alternatif pemecahan, dan menarik kesimpulan alternatif yang paling tepat sebagai jawaban terhadap masalah tersebut.
B. Strategi dalam implemetasi pembelajaran berbasis masalah
Untuk mengimplementasikan pembelajaran berdasarkan masalah, Dosen perlu memilih bahan pelajaran yang memiliki permasalahan yang dapat dipecahkan. Permasalahan tersebut bisa diambil dari buku teks atau dari sumber-sumber lain misalnya dari peristiwa yang terjadi dillingkungan sekitar, dari peristiwa dalam keluarga atau dari peristiwa kemasyarakatan.
Kriteria pemilihan bahan pelajaran dalam pembelajaran berdasarkan masalah dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Bahan pelajaran harus mengandung isu-isu yang bersifat konflik (conflik issue) yang bisa bersumber dari berita, rekaman video, dan yang lain
2. Bahan yang dipilih adalah bahan yang bersifat familiar dengan mahasiswa, sehingga setiap mahasiswa dapat mengikutinya dengan baik
3. Bahan yang dipilih merupakan bahan yang berhubungan dengan kepentingan orang banyak (universal) sehingga terasa manfaatnya
4. Bahan yang dipilih merupakan bahan yang mendukung tujuan atau kompetensi yang harus dimiliki oleh mahasiswa sesuai dengan kurikulum yang berlaku
5. Bahan yang dipilih sesuai dengan minat mahasiswa sehingga setiap mahasiswa merasa perlu untuk mempelajarinya.
Selanjutnya Sanjaya (2007) menyatakan strategi pembelajaran dengan pemecahan masalah dapat diterapkan: (1) manakala Dosen menginginkan agar mahasiswa tidak hanya sekedar dapat mengingat materi pelajaran, akan tetapi menguasai dan memahaminya secara penuh, (2) apabila Dosen bermaksud untuk mengembangkan keterampilan berpikir rasional mahasiswa, yaitu kemampuan menganalisis situasi, menerapkan pengetahuan yang mereka miliki dalam situasi baru, mengenal adanya perbedaan antara fakta dan pendapat, serta mengembangkan kemampuan dalam membuat judgement secara obyektif, (3) manakala Dosen menginginkan kemampuan mahasiswa untuk memecahkan masalah serta membuat tantangan intelektual mahasiswa, (4) jika Dosen mendorong mahasiswa untuk lebih bertanggungjawab dalam belajarnya, (5) jika Dosen ingin agar mahasiswa memahami hubungan antara apa yang dipelajari dengan kenyataan dalam kehidupannya (hubungan antara teori dengan kenyataan).
Elliott (1996) mengemukakan ada empat strategi yang digunakan pada pembelajaran berdasarkan masalah dalam kelas, yaitu:
1.Menganalisa kesulitan yang dialami setiap mahasiswa dalam memecahkan masalah. Ada 5 kesulitan yang selalu ditemukan pada diri mahasiswa: (1) kecerdasan mahasiswa, (2) motivasi mahasiswa, (3) informasi, (4) pengalaman mahasiswa, (5) kerangka pemikiran.
2. Selesaikan kesulitan/masalah mahasiswa.
3. Ajarkan secara langsung kepada mahasiswa teknik pemecahan masalah.
4. Berikan kesempatan kepada mahasiswa untuk memecahkan masalah pembelajaran.
Rumusan masalah dalam pembelajaran berdasarkan masalah sangat penting, sebab akan berhubungan dengan kejelasan dan kesamaan persepsi tentang masalah dan berkaitan dengan data apa yang harus dikumpulkan untuk menyelesaikannya. Kemampuan yang diharapkan dari mahasiswa dalam langkah ini adalah mahasiswa dapat menentukan prioritas masalah. Mahasiswa dapat memanfaatkan pengetahuannya untuk mengkaji, merinci, dan menganalisis masalah sehingga pada akhirnya muncul rumusan masalah yang jelas, spesifik, dan dapat dipecahkan.
C. keunggulan dan juga kelemahan pembelajaran berdasarkan masalah
Sebagai suatu strategi pembelajaran, pembelajaran berdasarkan masalah memiliki keunggulan dan juga kelemahan. Keunggulan yang dimaksud adalah: (1) merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran, (2) dapat menantang kemampuan mahasiswa serta memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi mahasiswa, (3) dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran mahasiswa, (4) dapat membantu mahasiswa bagaimana mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata, (5) dapat membantu mahasiswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggungjawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan, (6) bisa memperlihatkan kepada mahasiswa bahwa setiap mata pelajaran pada dasarnya merupakan cara berpikir, dan suatu yang harus dimengerti oleh mahasiswa bukan hanya sekedar belajar dari Dosen atau dari buku-buku saja, (7) dianggap lebih menyenangkan dan disukai mahasiswa, (8) dapat mengembangkan kemampuan mahasiswa untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru, (9) dapat memberikan kesempatan pada mahasiswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata, (10) dapat mengembangkan minat mahasiswa untuk secara terus-menerus belajar sekalipun belajar pada pendidikan formal telah berakhir.
Disamping keunggulan juga ada kelemahannya, di antaranya:
(1) manakala mahasiswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan enggan untuk mencoba, (2) keberhasilan strategi pembelajaran ini membutuhkan cukup waktu untuk persiapan, (3) tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari.
D. Langkah-langkah pembelajaran berdasarkan masalah
John Dewey dalam Sanjaya (2007) menjelaskan 6 langkah dalam pembelajaran berdasarkan masalah, yaitu:
1. Merumuskan masalah, yaitu langkah mahasiswa menentukan masalah yang dipecahkan.
2. Menganalisis masalah, yaitu langkah mahasiswa meninjau masalah secara kritis dari berbagai sudut pandang.
3. Merumuskan hipotesis, yaitu langkah mahasiswa merumuskan berbagai kemungkinan pemecahan sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.
4. Mengumpulkan data, yaitu langkah mahasiswa mencari dan menggambarkan informasi yang diperlukan untuk pemecahan masalah.
5. Pengujian hipotesis, yaitu langkah mahasiswa mengambil atau merumuskan kesimpulan sesuai dengan penerimaan dan penolakan hipotesis yang diajukan.
6. Merumuskan rekomendasi pemecahan masalah, yaitu langkah mahasiswa menggambarkan rekomendasi yang dapat dilakukan sesuai rumusan hasil pengujian hipotesis dan rumusan kesimpulan.
Selanjutnya David Johnson and Johnson dalam Sanjaya (2007) mengemukakan ada lima langkah dalam pembelajaran berdasarkan masalah melalui kegiatan kelompok, yaitu:
1. Mendefinisikan masalah, yaitu merumuskan masalah dari peristiwa tertentu yang mengandung isu konflik, hingga mahasiswa menjadi jelas masalah apa yang akan dikaji. Dalam kegiatan ini Dosen bisa meminta pendapat dan penjelasan mahasiswa tentang isu-isu hangat yang menarik untuk dipecahkan
2. Mendiagnosis masalah, yaitu menentukan sebab-sebab terjadinya masalah, serta menganalisis berbagai faktor baik faktor yang bisa menghambat maupun faktor yang dapat mendukung dalam penyelesaian masalah. Kegiatan ini bisa dilakukan dalam diskusi kelompok kecil, sehingga pada akhirnya mahasiswa dapat menDosentkan tindakan-tindakan prioritas yang dapat dilakukan sesuai dengan jenis penghambat yang diperkirakan.
3. Merumuskan alternatif strategi, yaitu menguji setiap tindakan yang telah dirumuskan melalui diskusi kelas. Pada tahapan ini setiap mahasiswa didorong untuk berpikir mengemukakan pendapat dan argumentasi tentang kemungkinan setiap tindakan yang dapat dilakukan.
4. Menentukan dan menerapkan strategi pilihan, yaitu pengambilan keputusan tentang strategi mana yang dapat dilakukan.
5. Melakukan evaluasi, baik evaluasi proses maupun evaluasi hasil.
6. Evaluasi proses adalah evaluasi terhadap seluruh kegiatan pelaksanaan kegiatan; sedangkan evaluasi hasil adalah evaluasi terhadap akibat dari penerapan strategi yang diterapkan.
Menurut Ibrahim (2000) mengemukakan ada lima tahap langkah- langkah dalam pembelajaran berdasarkan masalah sebagai berikut:
1. Orientasi mahasiswa kepada masalah. Pada tahapan ini aktivitas Dosen menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, mengajukan fenomena atau demonstrasi, atau cerita untuk memunculkan masalah, memotivasi mahasiswa untuk telibat dalam pemecahan masalah yang dipilihnya.
2. Mengorganisasi mahasiswa untuk belajar. Pada tahapan ini, Dosen membentu mahasiswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
3. Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok. Pada tahapan ini, Dosen mendorong mahasiswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah
4. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya. Pada tahapan ini, Dosen membantu mahasiswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya
5. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Pada tahapan ini, Dosen membantu mahasiswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan
Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Instruction/PBI) merupakan pendekatan yang efektif untuk pengajaran proses berpikir tingkat tinggi. Pembelajaran ini membantu mahasiswa untuk memproses informasi yang sudah jadi dalam benaknya dan menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang dunia sosial dan sekitarnya. Pembelajaran ini cocok untuk mengembangkan pengetahuan dasar maupun kompleks.
Arends (dalam Upu, 2004) menyatakan bahwa pembelajaran berdasarkan masalah merupakan suatu pembelajaran dimana mahasiswa menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inquiry dan keterampilan berpikir tingkat lebih tinggi, mengembangkan kemandirian dan percaya diri. Model pembelajaran ini mengacu pada model pembelajaran yang lain seperti Pembelajaran berdasarkan proyek (Project-based instruction), Pembelajaran berdasarkan pengalaman (Experience-based instruction), belajar otentik (Authentic learning), dan pembelajaran bermakna (Anchored instruction).
Pada pembelajaran ini, Dosen berperan untuk mengajukan permasalahan atau pertanyaan, memberikan dorongan, motivasi, menyediakan bahan ajar dan fasilitas yang diperlukan. Selain itu, Dosen memberikan scaffolding berupa dukungan dalam upaya meningkatkan kemampuan inquiry dan perkembangan intelektual mahasiswa.
Arends (dalam Upu, 2004) juga mengemukakan lima langkah utama dalam penggunaan PBI. Langkah-langkah tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
A. Ciri model pembelajaran berbasis masalah
Pembelajaran berdasarkan masalah dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan kepada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah.
Menurut Sanjaya (2007), ada tiga ciri utama pembelajaran berdasarkan masalah, yaitu:
1. Pembelajaran berdasarkan masalah merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran, artinya dalam implementasinya ada sejumlah kegiatan yang harus dilakukan mahasiswa. Melalui pembelajaran berdasarkan masalah mahasiswa aktif berpikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah data, dan akhirnya menyimpulkan.
2. Aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah. Pembelajaran berdasarkan masalah menempatkan masalah sebagai kata kunci dari proses pembelajaran. Artinya, tanpa masalah maka tidak mungkin ada proses pembelajaran.
3. Pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan berpikir secara ilmiah. Berpikir dengan menggunakan metode ilmiah adalah proses berpikir deduktif dan induktif. Proses berpikir ini dilakukan secara sistematis dan empiris. Sistematis artinya berpikir ilmiah dilakukan melalui tahapan-tahapan tertentu, sedangkan empiris artinya proses penyelesaian masalah didasarkan pada data dan fakta yang jelas.
Demikian halnya Ibrahim (2000), mengemukakan ada empat ciri utama pembelajaran berdasarkan masalah, yaitu:
1) Mengorientasikan mahasiswa kepada masalah autentik
Pada tahapan ini Dosen menyusun skenario yang dapat menarik perhatian mahasiswa, sekaligus memunculkan masalah yang benar-benar nyata dilingkungan mahasiswa serta dapat diselidiki oleh mahasiswa untuk menemukan jawabannya. Mengorientasikan mahasiswa kepada masalah yang autentik ini dapat berupa cerita, penyajian fenomena tertentu, atau mendemonstrasikan suatu kejadian yang mengandung munculnya permasalahan atau pertanyaan. Mendemonstrasikan kejadian-kejadian yang memunculkan konflik kognitif diyakini sangat baik untuk mengorientasikan mahasiswa kepada masalah ini.
2) Berfokus pada keterkaitan antar disiplin
Meskipun pembelajaran berdasarkan masalah berpusat pada pelajaran tertentu, misalnya Kimia tetapi masalah yang dipilih benar-benar nyata agar dalam pemecahannya mahasiswa dapat meninjau dari berbagai mata pelajaran yang lain
3) Penyelidikan autentik
Pembelajaran berdasarkan masalah mengharuskan mahasiswa melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata. Mereka harus menganalisis dan mendefinisikan masalah, menyusun hipotesis, mengumpulkan dan menganalisis informasi/data, melakukan percobaan, membuat inferensi, dan merumuskan simpulan
4) Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya
Pembelajaran berdasarkan masalah menuntut mahasiswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata dan memamerkan. Karya tersebut dapat berupa rekaman debat, laporan, model fisik, video, dan program komputer, dan lain-lain.
Sudjana (1991) mengemukakan bahwa model mengajar ini merupakan model yang mengandung aktivitas belajar mahasiswa cukup tinggi. Model ini tepat digunakan untuk mengajarkan konsep dan prinsip. Aktivitas mahasiswa dimulai dengan mengidentifikasi masalah, kemudian mencari alternatif pemecahannya, menilai setiap alternatif pemecahan, dan menarik kesimpulan alternatif yang paling tepat sebagai jawaban terhadap masalah tersebut.
B. Strategi dalam implemetasi pembelajaran berbasis masalah
Untuk mengimplementasikan pembelajaran berdasarkan masalah, Dosen perlu memilih bahan pelajaran yang memiliki permasalahan yang dapat dipecahkan. Permasalahan tersebut bisa diambil dari buku teks atau dari sumber-sumber lain misalnya dari peristiwa yang terjadi dillingkungan sekitar, dari peristiwa dalam keluarga atau dari peristiwa kemasyarakatan.
Kriteria pemilihan bahan pelajaran dalam pembelajaran berdasarkan masalah dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Bahan pelajaran harus mengandung isu-isu yang bersifat konflik (conflik issue) yang bisa bersumber dari berita, rekaman video, dan yang lain
2. Bahan yang dipilih adalah bahan yang bersifat familiar dengan mahasiswa, sehingga setiap mahasiswa dapat mengikutinya dengan baik
3. Bahan yang dipilih merupakan bahan yang berhubungan dengan kepentingan orang banyak (universal) sehingga terasa manfaatnya
4. Bahan yang dipilih merupakan bahan yang mendukung tujuan atau kompetensi yang harus dimiliki oleh mahasiswa sesuai dengan kurikulum yang berlaku
5. Bahan yang dipilih sesuai dengan minat mahasiswa sehingga setiap mahasiswa merasa perlu untuk mempelajarinya.
Selanjutnya Sanjaya (2007) menyatakan strategi pembelajaran dengan pemecahan masalah dapat diterapkan: (1) manakala Dosen menginginkan agar mahasiswa tidak hanya sekedar dapat mengingat materi pelajaran, akan tetapi menguasai dan memahaminya secara penuh, (2) apabila Dosen bermaksud untuk mengembangkan keterampilan berpikir rasional mahasiswa, yaitu kemampuan menganalisis situasi, menerapkan pengetahuan yang mereka miliki dalam situasi baru, mengenal adanya perbedaan antara fakta dan pendapat, serta mengembangkan kemampuan dalam membuat judgement secara obyektif, (3) manakala Dosen menginginkan kemampuan mahasiswa untuk memecahkan masalah serta membuat tantangan intelektual mahasiswa, (4) jika Dosen mendorong mahasiswa untuk lebih bertanggungjawab dalam belajarnya, (5) jika Dosen ingin agar mahasiswa memahami hubungan antara apa yang dipelajari dengan kenyataan dalam kehidupannya (hubungan antara teori dengan kenyataan).
Elliott (1996) mengemukakan ada empat strategi yang digunakan pada pembelajaran berdasarkan masalah dalam kelas, yaitu:
1.Menganalisa kesulitan yang dialami setiap mahasiswa dalam memecahkan masalah. Ada 5 kesulitan yang selalu ditemukan pada diri mahasiswa: (1) kecerdasan mahasiswa, (2) motivasi mahasiswa, (3) informasi, (4) pengalaman mahasiswa, (5) kerangka pemikiran.
2. Selesaikan kesulitan/masalah mahasiswa.
3. Ajarkan secara langsung kepada mahasiswa teknik pemecahan masalah.
4. Berikan kesempatan kepada mahasiswa untuk memecahkan masalah pembelajaran.
Rumusan masalah dalam pembelajaran berdasarkan masalah sangat penting, sebab akan berhubungan dengan kejelasan dan kesamaan persepsi tentang masalah dan berkaitan dengan data apa yang harus dikumpulkan untuk menyelesaikannya. Kemampuan yang diharapkan dari mahasiswa dalam langkah ini adalah mahasiswa dapat menentukan prioritas masalah. Mahasiswa dapat memanfaatkan pengetahuannya untuk mengkaji, merinci, dan menganalisis masalah sehingga pada akhirnya muncul rumusan masalah yang jelas, spesifik, dan dapat dipecahkan.
C. keunggulan dan juga kelemahan pembelajaran berdasarkan masalah
Sebagai suatu strategi pembelajaran, pembelajaran berdasarkan masalah memiliki keunggulan dan juga kelemahan. Keunggulan yang dimaksud adalah: (1) merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran, (2) dapat menantang kemampuan mahasiswa serta memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi mahasiswa, (3) dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran mahasiswa, (4) dapat membantu mahasiswa bagaimana mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata, (5) dapat membantu mahasiswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggungjawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan, (6) bisa memperlihatkan kepada mahasiswa bahwa setiap mata pelajaran pada dasarnya merupakan cara berpikir, dan suatu yang harus dimengerti oleh mahasiswa bukan hanya sekedar belajar dari Dosen atau dari buku-buku saja, (7) dianggap lebih menyenangkan dan disukai mahasiswa, (8) dapat mengembangkan kemampuan mahasiswa untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru, (9) dapat memberikan kesempatan pada mahasiswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata, (10) dapat mengembangkan minat mahasiswa untuk secara terus-menerus belajar sekalipun belajar pada pendidikan formal telah berakhir.
Disamping keunggulan juga ada kelemahannya, di antaranya:
(1) manakala mahasiswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan enggan untuk mencoba, (2) keberhasilan strategi pembelajaran ini membutuhkan cukup waktu untuk persiapan, (3) tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari.
D. Langkah-langkah pembelajaran berdasarkan masalah
John Dewey dalam Sanjaya (2007) menjelaskan 6 langkah dalam pembelajaran berdasarkan masalah, yaitu:
1. Merumuskan masalah, yaitu langkah mahasiswa menentukan masalah yang dipecahkan.
2. Menganalisis masalah, yaitu langkah mahasiswa meninjau masalah secara kritis dari berbagai sudut pandang.
3. Merumuskan hipotesis, yaitu langkah mahasiswa merumuskan berbagai kemungkinan pemecahan sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.
4. Mengumpulkan data, yaitu langkah mahasiswa mencari dan menggambarkan informasi yang diperlukan untuk pemecahan masalah.
5. Pengujian hipotesis, yaitu langkah mahasiswa mengambil atau merumuskan kesimpulan sesuai dengan penerimaan dan penolakan hipotesis yang diajukan.
6. Merumuskan rekomendasi pemecahan masalah, yaitu langkah mahasiswa menggambarkan rekomendasi yang dapat dilakukan sesuai rumusan hasil pengujian hipotesis dan rumusan kesimpulan.
Selanjutnya David Johnson and Johnson dalam Sanjaya (2007) mengemukakan ada lima langkah dalam pembelajaran berdasarkan masalah melalui kegiatan kelompok, yaitu:
1. Mendefinisikan masalah, yaitu merumuskan masalah dari peristiwa tertentu yang mengandung isu konflik, hingga mahasiswa menjadi jelas masalah apa yang akan dikaji. Dalam kegiatan ini Dosen bisa meminta pendapat dan penjelasan mahasiswa tentang isu-isu hangat yang menarik untuk dipecahkan
2. Mendiagnosis masalah, yaitu menentukan sebab-sebab terjadinya masalah, serta menganalisis berbagai faktor baik faktor yang bisa menghambat maupun faktor yang dapat mendukung dalam penyelesaian masalah. Kegiatan ini bisa dilakukan dalam diskusi kelompok kecil, sehingga pada akhirnya mahasiswa dapat menDosentkan tindakan-tindakan prioritas yang dapat dilakukan sesuai dengan jenis penghambat yang diperkirakan.
3. Merumuskan alternatif strategi, yaitu menguji setiap tindakan yang telah dirumuskan melalui diskusi kelas. Pada tahapan ini setiap mahasiswa didorong untuk berpikir mengemukakan pendapat dan argumentasi tentang kemungkinan setiap tindakan yang dapat dilakukan.
4. Menentukan dan menerapkan strategi pilihan, yaitu pengambilan keputusan tentang strategi mana yang dapat dilakukan.
5. Melakukan evaluasi, baik evaluasi proses maupun evaluasi hasil.
6. Evaluasi proses adalah evaluasi terhadap seluruh kegiatan pelaksanaan kegiatan; sedangkan evaluasi hasil adalah evaluasi terhadap akibat dari penerapan strategi yang diterapkan.
Menurut Ibrahim (2000) mengemukakan ada lima tahap langkah- langkah dalam pembelajaran berdasarkan masalah sebagai berikut:
1. Orientasi mahasiswa kepada masalah. Pada tahapan ini aktivitas Dosen menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, mengajukan fenomena atau demonstrasi, atau cerita untuk memunculkan masalah, memotivasi mahasiswa untuk telibat dalam pemecahan masalah yang dipilihnya.
2. Mengorganisasi mahasiswa untuk belajar. Pada tahapan ini, Dosen membentu mahasiswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
3. Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok. Pada tahapan ini, Dosen mendorong mahasiswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah
4. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya. Pada tahapan ini, Dosen membantu mahasiswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya
5. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Pada tahapan ini, Dosen membantu mahasiswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan
Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Instruction/PBI) merupakan pendekatan yang efektif untuk pengajaran proses berpikir tingkat tinggi. Pembelajaran ini membantu mahasiswa untuk memproses informasi yang sudah jadi dalam benaknya dan menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang dunia sosial dan sekitarnya. Pembelajaran ini cocok untuk mengembangkan pengetahuan dasar maupun kompleks.
Arends (dalam Upu, 2004) menyatakan bahwa pembelajaran berdasarkan masalah merupakan suatu pembelajaran dimana mahasiswa menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inquiry dan keterampilan berpikir tingkat lebih tinggi, mengembangkan kemandirian dan percaya diri. Model pembelajaran ini mengacu pada model pembelajaran yang lain seperti Pembelajaran berdasarkan proyek (Project-based instruction), Pembelajaran berdasarkan pengalaman (Experience-based instruction), belajar otentik (Authentic learning), dan pembelajaran bermakna (Anchored instruction).
Pada pembelajaran ini, Dosen berperan untuk mengajukan permasalahan atau pertanyaan, memberikan dorongan, motivasi, menyediakan bahan ajar dan fasilitas yang diperlukan. Selain itu, Dosen memberikan scaffolding berupa dukungan dalam upaya meningkatkan kemampuan inquiry dan perkembangan intelektual mahasiswa.
Arends (dalam Upu, 2004) juga mengemukakan lima langkah utama dalam penggunaan PBI. Langkah-langkah tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Sintaks model pembelajaran berdasarkan masalah
Fase
|
Tingkah Laku Dosen
|
Fase-1
Orientasi Mahasiswa
kepada masalah
|
Dosen menjelaskan tujuan pembelajaran (atau
indikator hasil belajar), memotivasi mahasiswa terlibat pada aktivitas pemecahan
masalah yang dipilihnya
|
Fase-2
Mengorganisasi
mahasiswa untuk belajar
|
Dosen membantu mahasiswa
mendefinisikan dan mengorgani-sasikan tugas belajar yang berhu-bungan dengan
masalah tersebut
|
Fase-3
Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok
|
Dosen mendorong mahasiswa untuk mengumpulkan
informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan
dan pemecahan masalah
|
Fase-4
Mengembangkan
dan manyajikan hasil karya
|
Dosen membantu mahasiswa dalam
merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan
model dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya
|
Fase-5
Menganalisis
dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
|
Dosen membantu mahasiswa
untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan
proses-proses yang mereka gunakan
|
Sumber:Arends,R.I.(2001).Learning
to Teach.New York: McGrawHill.
Menurut Krajcik, et.al, & Slavin, et.al dalam Arends dalam Upu (2004), karakteristik dari pembelajaran berdasarkan masalah adalah:
(1) Pengajuan pertanyaan atau masalah, (2) Keterkaitan dengan disiplin ilmu lain (interdisciplinary focus), (3) penyelidikan otentik (Authentic investigation), (4) Menghasilkan hasil karya dan memamerkannya (production of artifacts and exhibits), dan (5) Kolaborasi (collaboration).
PBI sebenarnya didesain bukan untuk membantu Dosen menyampaikan sejumlah informasi (materi pelajaran) kepada mahasiswa. Untuk menyampaikan informasi dapat digunakan model pengajaran langsung (direct instruction) dan metode ceramah. Tujuan utama pengembangan PBI adalah untuk membantu mahasiswa mengembangkan proses berpikirnya; belajar secara dewasa melalui pengalaman yang menjadikan mahasiswa mandiri. Menurut Arends (dalam Upu, 2004), ada 3 tujuan utama dari PBI, yaitu:
1. Mengembangkan kemampuan berpikir mahasiswa dan kemampuan memecahkan masalah
2. Mendewasakan mahasiswa melalui peniruan
3. Membuat mahasiswa lebih mandiri.
Menurut peneliti, menerapkan model pembelajaran berbasis masalah pada pembelajaran Kimia dapat menggali dan mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki oleh mahasiswa sehingga dapat lebih membuka pemikiran mahasiswa dan memberi kesempatan untuk lebih berkreasi.
E. Teori-teori yang terkait dengan pembelajaran berdasarkan masalah
Menurut Ibrahim (2000), pembelajaran berdasarkan masalah dilandasi oleh tiga pikiran ahli, yaitu:
a. John Dewey dan kelas demokrasi
John Dewey mengemukakan pandangan bahwa sekolah seharusnya mencerminkan masyarakat yang lebih besar dan kelas merupakan laboratorium untuk pemecahan masalah yang ada dalam kehidupan nyata. Beliau menganjurkan agar Dosen memberi dorongan kepada mahasiswanya terlibat dalam proyek atau tugas-tugas berorientasi masalah dan membantu mereka menyelidiki masalahnya.
b. Piaget, Vygotsky dan konstruktivisme
Piaget menjelaskan bahwa anak kecil memiliki rasa ingin tahu bawaan dan secara terus-menerus berusaha memahami dunia sekitarnya. Rasa ingin tahu ini adalah memotivasi mereka untuk aktif membangun pemahaman mereka tentang lingkungan yang mereka hayati.
Pandangan lain, yaitu kontruktivis-kognitif sama halnya dengan Piaget mengemukakan bahwa mahasiswa segala usia secara aktif terlibat dalam proses perolehan informasi dan membangun pengetahuan mereka sendiri. Pengetahuan tidak statis, tetapi secara terus menerus tumbuh dan berubah pada saat mahasiswa menghadapi pengalaman baru yang memaksa mereka membangun dan memodifikasi pengetahuan awal mereka. Menurut Piaget, pedagogik yang baik harus melibatkan pemberian anak dengan situasi-situasi dimana anak itu mandiri melakukan eksperimen, dalam arti yang paling luas dari istilah itu mencoba segala sesuatu untuk melihat apa yang terjadi, memanipulasi tanda-tanda, memanipulasi simbol-simbol, mengajukan pertanyaan dan menemukan sendiri jawabannya, mencocokkan apa yang dia temukan pada suatu saat dengan apa yang mereka temukan pada saat yang lain, membandingkan temuannya dengan temuan mahasiswa yang lain.
Piaget lebih menekankan proses belajar pada aspek tahapan perkembangan intelektual. Sementara Vygotsky lebih menekankan kepada aspek sosial pembelajaran. Vygotsky percaya bahwa interaksi sosial dengan teman lain membantu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual mahasiswa.
Ide kunci yang berkembang dari ide Vygotsky adalah konsep tentang zone of proximal development. Menurut Vygotsky, mahasiswa memiliki dua tingkat perkembangan, yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial.
Tingkat perkembangan aktual didefinisikan sebagai pemungsian intelektual individu saat ini dan kemampuan untuk belajar sesuatu yang khusus atas kemampuannya sendiri. Tingkat perkembangan potensial didefinisikan sebagai tingkat seseorang individu dapat memfungsikan atau dapat mencapai tingkat tertentu dengan bantuan orang lain seperti Dosen, orang tua, atau teman sejawat yang memiliki kemampuan lebih tinggi.
Zona diantara tingkat perkembangan aktual dan tingkat kemampuan potensial disebut zona perkembangan terdekat (zona of proximal development). Zona perkembangan terdekat adalah perkembangan kemampuan seseorang sedikit diatas perkembangan seseorang saat ini.
Selain itu Vygotsky juga yakin bahwa fungsi mental lebih tinggi pada umumnya muncul dalam percakapan atau kerjasama antar individu sebelum fungsi mental yang lebih tinggi itu terserap ke dalam individu tersebut. Ide Vygotsky ini memerlukan pentingnya interaksi sosial di dalam belajar. Dengan interaksi sosial yang terjadi antara mahasiswa dengan Dosen, atau sejawat yang lebih mampu, dia akan bergerak dari kemampuan saat ini menuju ke zona perkembangan terdekatnya.
c. Bruner dan pembelajaran penemuan
Teori pendukung penting yang dikemukakan oleh Bruner terhadap pembelajaran berdasarkan masalah adalah pembelajaran penemuan. Pembelajaran penemuan adalah suatu model pembelajaran yang menekankan pentingnya membantu mahasiswa memahami struktur/ide kunci dari suatu disiplin ilmu. Bruner yakin pentingnya mahasiswa terlibat di dalam pembelajaran dan dia meyakini bahwa pembelajaran yang terjadi sebenarnya melalui penemuan pribadi. Menurut Bruner tujuan pendidikan tidak hanya meningkatkan banyaknya pengetahuan mahasiswa tetapi juga menciptakan kemungkinan-kemungkinan untuk penemuan mahasiswa. Pembelajaran ini diterapkan dalam sains dan ilmu sosial, dikenal dengan penalaran induktif dan proses inkuiri yang merupakan ciri metode ilmiah.
Konsep lain dari Bruner adalah scaffolding yang didefinisikan sebagai proses seseorang mahasiswa dibantu menuntaskan masalah tertentu melampaui kapasitas perkembangannya melalui bantuan dari seorang Dosen atau orang lain yang memiliki kemampuan lebih. Konsep scaffolding Bruner mirip dengan konsep zona perkembangan dekat Vygotsky.
Pembelajaran penemuan memiliki kaitan intelektual dengan pembelajaran berbasis masalah, yaitu pada kedua model ini Dosen menekankan keterlibatan mahasiswa secara aktif, orientasi induktif lebih ditekankan dari pada deduktif, dan mahasiswa menemukan dan mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri.
Perbedaan yang terdapat di antara pembelajaran penemuan dengan pembelajaran berdasarkan masalah adalah pada masalahnya. Pada pembelajaran penemuan, masalah atau pertanyaan yang akan dijawab oleh mahasiswa sebagian besar berdasarkan disiplin (akademik), penyelidikan mahasiswa berlangsung di bawah bimbingan Dosen terbatas di dalam lingkup kelas. Sedangkan pada pembelajaran berbasis masalah pembelajaran dimulai dari masalah yang autentik (sehari-hari), dari kehidupan nyata dan bermakna. Mahasiswa memiliki kesempatan untuk melakukan penyelidikan di dalam maupun di luar sekolah sejauh itu diperlukan untuk memecahkan masalah. Karena masalahnya bersifat nyata, seringkali membutuhkan penyelidikan antar disiplin ilmu.
Pembelajaran konstruktivistik membantu mahasiswa menginternalisasikan dan mentransformasikan informasi baru. Transformasi terjadi dengan menghasilkan pengetahuan baru yang selanjutnya akan membentuk struktur kognitif baru. Pendekatan konstruktivistik lebih luas dan sukar untuk dipahami. Pandangan ini tidak melihat pada apa yang dapat diungkapkan kembali atau apa yang dapat diulang oleh mahasiswa terhadap pelajaran yang telah diajarkan dengan cara menjawab soal-soal tes (sebagai perilaku imitasi), melainkan pada apa yang dapat dihasilkan mahasiswa, didemonstrasikan, dan ditunjukkannya.
Teori belajar konstruktivistik yang diterapkan dalam kegiatan pembelajaran akan memberikan sumbangan besar dalam membentuk manusia yang kreatif, produktif, dan mandiri.
ARTIKEL TERKAIT : Model Pembelajaran Somatic Auditory Visual Intelectual (SAVI)
PENGERTIAN MODEL PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH
Menurut Krajcik, et.al, & Slavin, et.al dalam Arends dalam Upu (2004), karakteristik dari pembelajaran berdasarkan masalah adalah:
(1) Pengajuan pertanyaan atau masalah, (2) Keterkaitan dengan disiplin ilmu lain (interdisciplinary focus), (3) penyelidikan otentik (Authentic investigation), (4) Menghasilkan hasil karya dan memamerkannya (production of artifacts and exhibits), dan (5) Kolaborasi (collaboration).
PBI sebenarnya didesain bukan untuk membantu Dosen menyampaikan sejumlah informasi (materi pelajaran) kepada mahasiswa. Untuk menyampaikan informasi dapat digunakan model pengajaran langsung (direct instruction) dan metode ceramah. Tujuan utama pengembangan PBI adalah untuk membantu mahasiswa mengembangkan proses berpikirnya; belajar secara dewasa melalui pengalaman yang menjadikan mahasiswa mandiri. Menurut Arends (dalam Upu, 2004), ada 3 tujuan utama dari PBI, yaitu:
1. Mengembangkan kemampuan berpikir mahasiswa dan kemampuan memecahkan masalah
2. Mendewasakan mahasiswa melalui peniruan
3. Membuat mahasiswa lebih mandiri.
Menurut peneliti, menerapkan model pembelajaran berbasis masalah pada pembelajaran Kimia dapat menggali dan mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki oleh mahasiswa sehingga dapat lebih membuka pemikiran mahasiswa dan memberi kesempatan untuk lebih berkreasi.
E. Teori-teori yang terkait dengan pembelajaran berdasarkan masalah
Menurut Ibrahim (2000), pembelajaran berdasarkan masalah dilandasi oleh tiga pikiran ahli, yaitu:
a. John Dewey dan kelas demokrasi
John Dewey mengemukakan pandangan bahwa sekolah seharusnya mencerminkan masyarakat yang lebih besar dan kelas merupakan laboratorium untuk pemecahan masalah yang ada dalam kehidupan nyata. Beliau menganjurkan agar Dosen memberi dorongan kepada mahasiswanya terlibat dalam proyek atau tugas-tugas berorientasi masalah dan membantu mereka menyelidiki masalahnya.
b. Piaget, Vygotsky dan konstruktivisme
Piaget menjelaskan bahwa anak kecil memiliki rasa ingin tahu bawaan dan secara terus-menerus berusaha memahami dunia sekitarnya. Rasa ingin tahu ini adalah memotivasi mereka untuk aktif membangun pemahaman mereka tentang lingkungan yang mereka hayati.
Pandangan lain, yaitu kontruktivis-kognitif sama halnya dengan Piaget mengemukakan bahwa mahasiswa segala usia secara aktif terlibat dalam proses perolehan informasi dan membangun pengetahuan mereka sendiri. Pengetahuan tidak statis, tetapi secara terus menerus tumbuh dan berubah pada saat mahasiswa menghadapi pengalaman baru yang memaksa mereka membangun dan memodifikasi pengetahuan awal mereka. Menurut Piaget, pedagogik yang baik harus melibatkan pemberian anak dengan situasi-situasi dimana anak itu mandiri melakukan eksperimen, dalam arti yang paling luas dari istilah itu mencoba segala sesuatu untuk melihat apa yang terjadi, memanipulasi tanda-tanda, memanipulasi simbol-simbol, mengajukan pertanyaan dan menemukan sendiri jawabannya, mencocokkan apa yang dia temukan pada suatu saat dengan apa yang mereka temukan pada saat yang lain, membandingkan temuannya dengan temuan mahasiswa yang lain.
Piaget lebih menekankan proses belajar pada aspek tahapan perkembangan intelektual. Sementara Vygotsky lebih menekankan kepada aspek sosial pembelajaran. Vygotsky percaya bahwa interaksi sosial dengan teman lain membantu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual mahasiswa.
Ide kunci yang berkembang dari ide Vygotsky adalah konsep tentang zone of proximal development. Menurut Vygotsky, mahasiswa memiliki dua tingkat perkembangan, yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial.
Tingkat perkembangan aktual didefinisikan sebagai pemungsian intelektual individu saat ini dan kemampuan untuk belajar sesuatu yang khusus atas kemampuannya sendiri. Tingkat perkembangan potensial didefinisikan sebagai tingkat seseorang individu dapat memfungsikan atau dapat mencapai tingkat tertentu dengan bantuan orang lain seperti Dosen, orang tua, atau teman sejawat yang memiliki kemampuan lebih tinggi.
Zona diantara tingkat perkembangan aktual dan tingkat kemampuan potensial disebut zona perkembangan terdekat (zona of proximal development). Zona perkembangan terdekat adalah perkembangan kemampuan seseorang sedikit diatas perkembangan seseorang saat ini.
Selain itu Vygotsky juga yakin bahwa fungsi mental lebih tinggi pada umumnya muncul dalam percakapan atau kerjasama antar individu sebelum fungsi mental yang lebih tinggi itu terserap ke dalam individu tersebut. Ide Vygotsky ini memerlukan pentingnya interaksi sosial di dalam belajar. Dengan interaksi sosial yang terjadi antara mahasiswa dengan Dosen, atau sejawat yang lebih mampu, dia akan bergerak dari kemampuan saat ini menuju ke zona perkembangan terdekatnya.
c. Bruner dan pembelajaran penemuan
Teori pendukung penting yang dikemukakan oleh Bruner terhadap pembelajaran berdasarkan masalah adalah pembelajaran penemuan. Pembelajaran penemuan adalah suatu model pembelajaran yang menekankan pentingnya membantu mahasiswa memahami struktur/ide kunci dari suatu disiplin ilmu. Bruner yakin pentingnya mahasiswa terlibat di dalam pembelajaran dan dia meyakini bahwa pembelajaran yang terjadi sebenarnya melalui penemuan pribadi. Menurut Bruner tujuan pendidikan tidak hanya meningkatkan banyaknya pengetahuan mahasiswa tetapi juga menciptakan kemungkinan-kemungkinan untuk penemuan mahasiswa. Pembelajaran ini diterapkan dalam sains dan ilmu sosial, dikenal dengan penalaran induktif dan proses inkuiri yang merupakan ciri metode ilmiah.
Konsep lain dari Bruner adalah scaffolding yang didefinisikan sebagai proses seseorang mahasiswa dibantu menuntaskan masalah tertentu melampaui kapasitas perkembangannya melalui bantuan dari seorang Dosen atau orang lain yang memiliki kemampuan lebih. Konsep scaffolding Bruner mirip dengan konsep zona perkembangan dekat Vygotsky.
Pembelajaran penemuan memiliki kaitan intelektual dengan pembelajaran berbasis masalah, yaitu pada kedua model ini Dosen menekankan keterlibatan mahasiswa secara aktif, orientasi induktif lebih ditekankan dari pada deduktif, dan mahasiswa menemukan dan mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri.
Perbedaan yang terdapat di antara pembelajaran penemuan dengan pembelajaran berdasarkan masalah adalah pada masalahnya. Pada pembelajaran penemuan, masalah atau pertanyaan yang akan dijawab oleh mahasiswa sebagian besar berdasarkan disiplin (akademik), penyelidikan mahasiswa berlangsung di bawah bimbingan Dosen terbatas di dalam lingkup kelas. Sedangkan pada pembelajaran berbasis masalah pembelajaran dimulai dari masalah yang autentik (sehari-hari), dari kehidupan nyata dan bermakna. Mahasiswa memiliki kesempatan untuk melakukan penyelidikan di dalam maupun di luar sekolah sejauh itu diperlukan untuk memecahkan masalah. Karena masalahnya bersifat nyata, seringkali membutuhkan penyelidikan antar disiplin ilmu.
Pembelajaran konstruktivistik membantu mahasiswa menginternalisasikan dan mentransformasikan informasi baru. Transformasi terjadi dengan menghasilkan pengetahuan baru yang selanjutnya akan membentuk struktur kognitif baru. Pendekatan konstruktivistik lebih luas dan sukar untuk dipahami. Pandangan ini tidak melihat pada apa yang dapat diungkapkan kembali atau apa yang dapat diulang oleh mahasiswa terhadap pelajaran yang telah diajarkan dengan cara menjawab soal-soal tes (sebagai perilaku imitasi), melainkan pada apa yang dapat dihasilkan mahasiswa, didemonstrasikan, dan ditunjukkannya.
Teori belajar konstruktivistik yang diterapkan dalam kegiatan pembelajaran akan memberikan sumbangan besar dalam membentuk manusia yang kreatif, produktif, dan mandiri.
ARTIKEL TERKAIT : Model Pembelajaran Somatic Auditory Visual Intelectual (SAVI)
PENGERTIAN MODEL PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH
0 Response to "PENGERTIAN MODEL PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH"
Post a Comment