KURIKULUM DAN PERMASALAHANNYA
Tuesday, 8 March 2016
Add Comment
KURIKULUM DAN PERMASALAHANNYA
1. Pengertian Kurikulum
Secara
etimologi, kurikulum (curriculum) berasal dari bahasa Yunani, yaitu
curir yang artinya “pelari” dan curere yang berarti “tempat berpacu”. Itu
berarti istilah kurikulum berasal dari dunia olah raga pada zaman Yunani
Kuno di Yunani, yang mengandung pengertian suatu jarak yang harus ditempuh oleh
pelari dari garis start sampai finish, kemudian di gunakan oleh dunia
pendidikan.
Secara
terminologi, istilah kurikulum digunakan dalam dunia pendidikan, yaitu
sejumlah pengetahuan atau kemampuan yang harus ditempuh atau diselesaikan siswa
guna mencapai tingkatan tertentu secara formal dan dapat dipertanggung
jawabkan. Sedangkan menurut UU No. 20 Tahun 2003 pengertian kurikulum adalah
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran
serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Kurikulum adalah segala sesuatu yang
dijalankan, dilaksanakan, direncanakan, diajukan dan diawasi pelaksanaannya
yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan, perkembangan siswa agar mampu ikut
andil dalam masyarakat dan berguna bagi masyarakat, juga akan berguna masa
depannya kelak.
2. Komponen-komponen Kurikulum
Ada
4 unsur komponen kurikulum yaitu: tujuan, isi (bahan pelajaran),
strategi pelaksanaan (proses belajar mengajar), dan penilaian (evaluasi)
a.
Komponen Tujuan
Kurikulum
merupakan suatu
program yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan pendidikan. Tujuan itulah yang
dijadikan arah atau acuan segala kegiatan pendidikan yang dijalankan. Berhasil
atau tidaknya program pengajaran di Sekolah dapat diukur dari seberapa jauh dan
banyaknya pencapaian tujuan-tujuan tersebut. Dalam setiap kurikulum lembaga
pendidikan, pasti dicantumkan tujuan-tujuan pendidikan yang akan atau harus
dicapai oleh lembaga pendidikan yang bersangkutan.
Tujuan
pendidikan nasional yang merupakan pendidikan pada tataran makroskopik,
selanjutnya dijabarkan ke dalam tujuan institusional yaitu tujuan pendidikan
yang ingin dicapai dari setiap jenis maupun jenjang sekolah atau satuan pendidikan
tertentu.
b.
Komponen Isi/Materi
Isi
program kurikulum adalah segala sesuatu yang diberikan kepada anak didik
dalam kegiatan belajar mengajar dalam rangka mencapai tujuan. Isi kurikulum
meliputi jenis-jenis bidang studi yang diajarkan dan isi program masing-masing
bidang studi tersebut. Bidang-bidang studi tersebut disesuaikan dengan jenis,
jenjang maupun jalur pendidikan yang ada.
Kriteria
yang dapat membantu pada perancangan kurikulum dalam menentukan isi kurikulum.
Kriteria itu natara lain:
1)
Isi kurikulum harus sesuai, tepat dan bermakna bagi perkembangan siswa.
2)
Isi kurikulum harus mencerminkan kenyataan sosial.
3)
Isi kurikulum harus mengandung pengetahuan ilmiah yang tahan uji.
4)
Isi kurikulum mengandung bahan pelajaran yang jelas.
5)
Isi kurikulum dapat menunjang tercapainya tujuan pendidikan.
Materi
kurikulum pada
hakekatnya adalah isi kurikulum yang dikembangkan dan disusun dengan
prinsip-prinsip sebagai berikut :
1)
Materi kurikulum berupa bahan pelajaran terdiri dari bahan kajian atau
topik-topik pelajaran yang dapat dikaji oleh siswa dalam proses pembelajaran.
2)
Mengacu pada pencapaian tujuan setiap satuan pelajaran.
3)
Diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
c.
Komponen Strategi
Strategi
merujuk pada pendekatan dan metode serta peralatan mengajar yang digunakan
dalam pengajaran. Pembicaraan strategi pengajaran tergambar dari cara yang
ditempuh dalam melaksanakan pengajaan, mengadakan penilaian, pelaksanaan
bimbingan dan mengatur kegiatan, baik yang secara \umum berlaku maupun yang
bersifat khusus dalam pengajaran.
Strategi
pelaksanaan kurikulum berhubungan dengan bagaimana kurikulum itu dilaksanakan
disekolah. Kurikulum merupakan rencana, ide, harapan, yang harus diwujudkan
secara nyata disekolah, sehingga mampu mampu mengantarkan anak didik mencapai
tujuan pendidikan. Kurikulum yang baik tidak akan mencapai hasil yang maksimal,
jika pelaksanaannya menghasilkan sesuatu yang baik bagi anak didik. Komponen
strategi pelaksanaan kurikulum meliputi pengajaran, penilaian, bimbingan dan
penyuluhan dan pengaturan kegiatan sekolah.
d.
Komponen Evaluasi
Dalam
pengertian terbatas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa tingkat
ketercapaian tujuan-tujuan pendidikan yang ingin diwujudkan melalui kurikulum
yang bersangkutan. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas, evaluasi
kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa kinerja kurikulum secara keseluruhan
ditinjau dari berbagai kriteria. Indikator kinerja yang dievaluasi tidak hanya
terbatas pada efektivitas saja, namun juga relevansi, efisiensi, kelayakan
program.
Evaluasi
kurikulum memegang peranan penting, baik untuk penentuan kebijakan pendidikan
pada umumnya maupun untuk pengambilan keputusan dalam kurikulum itu sendiri.
Hasil-hasil evaluasi kurikulum dapat digunakan oleh para pemegang kebijakan
pendidikan dan para pengembang kurikulum dalam memilih dan menetapkan kebijakan
pengembangan sistem pendidikan dan pengembangan model kurikulum yang digunakan.
Hasil
– hasil evaluasi kurikulum juga dapat digunakan oleh guru-guru, kepala sekolah
dan para pelaksana pendidikan lainnya dalam memahami dan membantu perkembangan
peserta didik, memilih bahan pelajaran, memilih metode dan alat-alat bantu
pelajaran, cara penilaian serta fasilitas pendidikan lainnya.
3. Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum
Prinsip-prinsip
pengembangan kurikulum berdasarkan 5
prinsip yaitu :
a.
Prinsip Relevansi
Secara
internal bahwa kurikulum memiliki relevansi di antara komponen- komponen
kurikulum (tujuan, bahan, strategi, organisasi dan evaluasi). Sedangkan secara
eksternal bahwa komponen-komponen tersebut memiliki relevansi dengan tuntutan
ilmu pengetahuan dan teknologi (relevansi epistomologis), tuntutan dan potensi
peserta didik (relevansi psikologis) serta tuntutan dan kebutuhan perkembangan masyarakat
(relevansi sosiologis).
b.
Prinsip Fleksibilitas
Dalam
pengembangan kurikulum mengusahakan agar yang dihasilkan memiliki sifat
luwes, lentur dan fleksibel dalam pelaksanaannya, memungkinkan terjadinya
penyesuaian-penyesuaian berdasarkan situasi dan kondisi tempat dan waktu yang
selalu berkembang, serta kemampuan dan latar bekang peserta didik.
c.
Prinsip Efsiensi
Mengusahakan
agar dalam pengembangan kurikulum dapat mendayagunakan waktu, biaya, dan
sumber-sumber lain yang ada secara optimal, cermat dan tepat sehingga hasilnya
memadai.
d.
Prinsip Kontiunitas
Kurikulum
disusun secara
berkesinambungan, artinya bagian-bagian, aspek-spek, materi, dan bahan kajian
disusun secara berurutan, tidak terlepas-lepas, melainkan satu sama lain
memilik hubungan fungsional yang bermakna, sesuai dengan jenjang pendidikan,
struktur dalam satuan pendidikn, tingkat perkembangan siswa. Dengan prinsip
ini, tampak jelas alur dan keterkaitan didalam kurikulum tersebut sehingga
mempermudah guru dan siswa dalam melaksanakan proses pembelajaran.
e.
Prinsip efektifitas
Mengusahakan
agar kegiatan pengembangan kurikulum mencapai tujuan tanpa kegiatan yang
mubazir, baik secara kualitas maupun kuantitas.
4. Sejarah Perjalanan
Kurikulum di Indonesia
Dalam
perjalanan dunia pendidikan di Indonesia, salah satu upaya pemerintah untuk
mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan adalah melakukan perubahan kurikulum
pendidikan. Perubahan tersebut merupakan salah satu langkah pengembangan antara
kurikulum yang ada dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Dalam sejarah
kurikulum Indonesia telah berulang kali melakukan penggantian kurikulum
seperti :
a.
Tahun 1947-Leer Plan (Rencana Pelajaran)
Pada
tahun 1947, kurikulum saat itu diberi nama Rentjana Pelajaran 1947. Pada saat
itu, kurikulum pendidikan di Indonesia masih dipengaruhi sistem pendidikan
kolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya meneruskan yang pernah digunakan
sebelumnya. Rentjana Pelajaran 1947 boleh dikatakan sebagai pengganti sistem
pendidikan kolonial Belanda. Karena suasana kehidupan berbangsa saat itu masih
dalam semangat juang merebut kemerdekaan maka pendidikan sebagai development
conformism lebih menekankan pada pembentukan karakter manusia Indonesia yang
merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi ini. Rencana
Pelajaran 1947 mengurangi pendidikan pikiran dalam arti kognitif, namun yang
diutamakan pendidikan watak atau perilaku (value, attitude), meliputi:
-
Kesadaran bernegara dan bermasyarakat.
-
Materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari.
-
Perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.
b.
Tahun 1952-Rencana Pelajaran Terurai
Setelah
Rentjana Pelajaran 1947, pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami
penyempurnaan. Pada tahun 1952 ini diberi nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952.
Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Yang paling
menonjol dan sekaligus ciri dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap rencana
pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan
sehari-hari.
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata
pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. “Silabus mata
pelajarannya jelas sekali, seorang guru mengajar satu mata pelajaran,” kata
Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode 1991-1995.
Dipenghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau
Kurikulum 1964.
c.
Tahun 1964-Rentjana Pendidikan,
Pada
akhir era kekuasaan Soekarno, kurikulum pendidikan yang lalu diubah menjadi
Rencana Pendidikan 1964. Isu yang berkembang pada rencana pendidikan 1964
adalah konsep pembelajaran yang bersifat aktif, kreatif, dan produktif. Konsep
pembelajaran ini mewajibkan sekolah membimbing anak agar mampu memikirkan
sendiri pemecahan persoalan (problem solving).
Rencana
Pendidikan 1964 melahirkan Kurikulum 1964 yang menitik beratkan pada
pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral yang kemudian dikenal
dengan istilah Pancawardhana. Disebut Pancawardhana karena lima kelompok bidang
studi, yaitu kelompok perkembangan moral, kecerdasan, emosional/artisitk,
keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pada saat itu pendidikan dasar lebih
menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis, yang disesuaikan
dengan perkembangan anak.
Cara
belajar dijalankan dengan metode disebut gotong royong terpimpin. Selain itu
pemerintah menerapkan hari sabtu sebagai hari krida. Maksudnya, pada hari Sabtu
siswa diberi kebebasan berlatih kegitan dibidang kebudayaan, kesenian, olah
raga, dan permainan sesuai minat siswa. Kurikulum 1964 adalah alat untuk
membentuk manusia pacasialis yang sosialis Indonesia, dengan sifat-sifat seperti
pada ketetapan MPRS No II tanun 1960.
d.
Tahun 1968-Kurikulum 1968,
Kelahiran Kurikulum 1968 ini
bersifat politis: mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai
produk Orde Lama. Tujuannya pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum
1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan
Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Jumlah pelajarannya
sembilan.
Djauzak menyebut Kurikulum 1968
sebagai kurikulum bulat. “Hanya memuat mata pelajaran pokok-pokok saja,”
katanya. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tak mengaitkan dengan
permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang
tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan.
e.
Tahun 1975-Kurikulum 1975,
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar
pendidikan lebih efisien dan efektif. Metode, materi, dan tujuan pengajaran
dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini
dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan
bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan
instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan
belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum model ini banyak mendapatkan
kritikan, sebab guru terlalu disibukkan menulis rincian apa yang akan dicapai
dari setiap kegiatan pembelajaran, sehingga konsentrasinya kurang terfokus.
f.
Tahun 1984-Kurikulum 1984,
Kurikulum 1984 mengusung process skill
approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap
penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”.
Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu,
mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara
Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).
g.
Tahun 1994 dan 1999-Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999,
Kurikulum 1994 bergulir lebih pada
upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. “Jiwanya ingin mengkombinasikan
antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984, antara pendekatan proses,” kata
Mudjito menjelaskan.
Materi muatan lokal disesuaikan
dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian,
keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan kelompok-kelompok
masyarakat mendesakkan agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Walhasil,
Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Tapi perubahannya lebih
pada menambal sejumlah materi.
h.
Tahun 2004-Kurikulum Berbasis Kompetensi,
Setiap pelajaran diurai berdasar
kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Sayangnya, kerancuan muncul bila
dikaitkan dengan alat ukur kompetensi siswa, yakni ujian. Ujian akhir sekolah
maupun nasional masih berupa soal pilihan ganda. Bila target kompetensi yang
ingin dicapai, evaluasinya tentu lebih banyak pada praktik atau soal uraian
yang mampu mengukur seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa. Meski baru
diujicobakan, toh di sejumlah sekolah kota-kota di Pulau Jawa, dan kota besar
di luar Pulau Jawa telah menerapkan KBK. Hasilnya tak memuaskan. Guru-guru pun
tak paham betul apa sebenarnya kompetensi yang diinginkan pembuat kurikulum.
i.
Tahun 2006-Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan,
Awal
2006 uji coba KBK dihentikan. Muncullah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh
siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004.
Perbedaan yang paling menonjol adalah guru lebih diberikan kebebasan untuk
merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta
kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan karangka dasar (KD), standar
kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) setiap
mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen
Pendidikan Nasional. Jadi pengambangan perangkat pembelajaran, seperti silabus
dan sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah
koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota.
j.
Tahun 2013-Kurikulum 2013,
Kurikulum
2013 atau Pendidikan Berbasis Karakter adalah kurikulum baru yang dicetuskan
oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI untuk menggantikan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan. Kurikulum 2013 merupakan sebuah kurikulum yang
mengutamakan pemahaman, skill, dan pendidikan berkarakter, siswa dituntut untuk
paham atas materi, aktif dalam berdiskusi dan presentasi serta memiliki sopan
santun disiplin yang tinggi. Kurikulum ini menggantikan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan yang diterapkan sejak 2006 lalu. Dalam Kurikulum 2013 mata
pelajaran wajib diikuti oleh seluruh peserta didik di satu satuan pendidikan
pada setiap satuan atau jenjang pendidikan.Mata pelajaran pilihan yang diikuti
oleh peserta didik dipilih sesuai dengan pilihan mereka.Kedua kelompok mata
pelajaran tersebut (wajib dan pilihan) terutama dikembangkan dalam struktur
kurikulum pendidikan menengah (SMA dan SMK) sementara itu mengingat usia dan
perkembangan psikologis peserta didik usia 7 – 15 tahun maka mata pelajaran
pilihan belum diberikan untuk peserta didik SD dan SMP.
5. Permasalahan Kurikulum di Indonesia
Begitu
banyak masalah-masalah kurikulum dan pembelajaran yang dialami Indonesia.
Masalah-masalah ini turut andil dalam dampaknya terhadap pembelajaran dan
pendidikan Indonesia. Berikut ini adalah beberapa masalah kurikulum (menurut
sudut pandang penulis) :
1. Kurikulum Indonesia Relatif Kompleks
Jika
dibandingkan dengan kurikulum di negara maju, kurikulum yang dijalankan di
Indonesia terlalu kompleks. Hal ini akan berakibat bagi guru dan siswa. Siswa
akan terbebani dengan segudang materi yang harus dikuasainya. Siswa harus
berusaha keras untuk memahami dan mengejar materi yang sudah ditargetkan. Hal
ini akan mengakibatkan siswa tidak akan memahami seluruh materi yang diajarkan.
Siswa akan lebih memilih untuk mempelajari materi dan hanya memahami sepintas
tentang materi tersebut. Dampaknya, pengetahuan siswa akan sangat terbatas dan
siswa kurang mengeluarkan potensinya, daya saing siswa akan berkurang.
Selain
berdampak pada siswa, guru juga akan mendapat dampaknya. Tugas guru akan
semakin menumpuk dan kurang maksimal dalam memberikan pengajaran. Guru akan
terbebani dengan pencapaian target materi yang terlalu banyak, sekalipun masih
banyak siswa yang mengalami kesulitan, guru harus tetap melanjutkan materi. Hal
ini tidak sesuai dengan peran guru. Kurikulum di Indonesia yang cenderung fokus
pada kemampuan intelektual membuat bakat atau soft skill siswa tidak
berkembang. Padahal, sebenarnya bakat siswa bermacam-macam dan tidak bisa
dipaksa harus berada di suatu bidang saja. Akibat soft skill yang kurang
tergali, di katakan Rektor Universitas Pakuan, Bibin Rubini saat ini tawuran
serta bentrok makin marak.
Selain
itu, Bibin juga mengingatkan banyaknya aturan dan ketentuan yang ada dalam
sistem pendidikan tidak diimplementasikan. "Jika dilihat, sistem
pendidikan kita tidak jauh berbeda dengan negara lain. Hanya saja, di negara
lain diimplementasikan dengan baik, sedangkan di kita hanya sekadar aturan,"
misalnya kebijakan sekolah gratis tidak diterapkan dengan baik sehingga masih
banyak siswa tidak mampu yang tidak bisa mengenyam pendidikan karena keberatan
dengan biaya pendidikan yang mahal. Jadi kebijakan yang ada diimplementasikan
dengan baik, terutama soal wajib belajar, maka angka partisipasi kasar
pendidikan kita tentu akan semakin meningkat (A-155/A-89).
2. Kecenderungan Berganti Nama
Kurikulum
di Indonesia sering
sekali mengalami perubahan. Namun, perubahan tersebut hanyalah sebatas
perubahan nama semata. Tanpa mengubah esensi kurikulum, tentulah tidak akan ada
dampak positif dari perubahan kurikulum Indonesia. Bahkan, pengubahan nama
kurikulum mampu disajikan sebagai lahan bisnis oleh oknum-oknum yang tidak
bertanggung jawab. Pengubahan nama kurikulum tentulah memerlukan dana yang
cukup banyak. Apabila dilihat dari sudut pandang ekonomi, alangkah baiknya jika
dana tersebut digunakan untuk bantuan pendidikan yang lebih berpotensi untuk
kemajuan pendidikan.
3. Kurangnya sumber prinsip pengembangan
Pengembangan
suatu kurikulum tentu
saja berdasarkan sumber prinsip, untuk menunjukan dari mana asal mula lahirnya
suatu prinsip pengembangan kurikulum. Sumber prinsip pengembangan kurikulum
yang dimaksud adalah data empiris (pengalaman yang terdokumentasi dan terbukti
efektif), data eksperimen (temuan hasil penelitian), cerita/legenda yang hidup
di masayaraksat (folklore
of curriculum), dan akal sehat (common sense).
Namun
dalam fakta kehidupan, data hasil penelitian (hard data) itu
sifatnya sangat terbatas. Terdapat banayk data yang bukan diperoleh dari hasil
penelitian juga terbukti efektif untuk memecahkan masalah-masalah yang
komploks, diantaranya adat kebiasaan yang hidup di masyarakat (folklore of curiculum).
Ada juga hasil pemikiran umum atau akal sehat (common sense).
Dari masalah-masalah yang telah diuraikan sebelumnya, tentu akan ada solusi
yang mampu untuk memecahkannya. Berikut ini adalah beberapa solusi yang dapat
dilakukan :
a.
Mengubah paradigma dari pengajaran yang berbasis
sistetik-materialistik menjadi religius. Solusi ini menunjukan akan
berkurangnya kemerosotan moral. Dimana tidak akan ada lagi siswa cerdas yang
tidak bermoral.
b.
Mengubah konsep awal paradigma kurikulum menjadi alur yang benar untuk mencapai
suatu tujuan yang sebenarnya.
c.
Melakukan pemerataan pendidikan melalui pemerataan sarana dan prasarana ke sekolah
terpencil, sehingga tidak akan ada lagi siswa di daerah terpencil yang
terbelakang pendidikan.
d.
Menjalankan kurikulum dengan sebaik mungkin.
e.
Membersihkan organ-organ kurikulum dari oknum-oknum tak bertanggung
jawab.
Faktor
sosial budaya sangat penting dalam penyusunan kurikulum yang relevan,
karena kurikulum merupakan alat untuk merealisasikan sistem pendidikan, sebagai salah satu
dimensi dari kebudayaan. Implikasi dasarnya adalah sebagai berikut:
1.
Kurikulum harus disusun berdasarkan kondisi sosial-budaya masyarakat. Kurikulum
disusun bukan saja harus berdasarkan nilai, adat istiadat, cita-cita dari
masyarakat, tetapi juga harus berlandaskan semua dimensi kebuadayaan seperti
kehidupan keluarga, ekonomi, politik, pendidikan dan sebagainya.
2.
Karena kondisi sosial budaya senantiasa berubah dan berkembang sejalan dengan
perubahan masyarakat, maka kurikulum harus disusun dengan memperhatikan unsur
fleksibilitas dan bersifat dinamis, sehingga kurikulum tersebut senantiasa
relevan dengan masyarakat. Konsekuensi logisnya, pada waktunya perlu diadakan
perubahan dan revisi kurikulum, sesuai dengan perkembangan dan perubahan sosial
budaya yang ada pada saat itu.
3.
Program kurikulum harus disusun dan mengandung materi sosial budaya dalam masyarakat. Ini
bukan hanya dimaksudkan untuk membudayakan anak didik, tetapi sejalan dengan
usaha mengawetkan kebudayaan itu sendiri. Kemajuan dalam bidang teknologi akan
memberikan bahan yang memadai dalam penyampaian teknologi baru itu kepada siswa,
yang sekaligus mempersiapkan mempersiapkan para siswa tersebut agar mampu hidup
dalam teknologi itu. Dengan demikian, sekolah benar-benar dapat mengemban peran
dan fungsinya sebagai lembaga modernisasi.
KURIKULUM DAN PERMASALAHANNYA
0 Response to " KURIKULUM DAN PERMASALAHANNYA "
Post a Comment