SITUASI PERGAULAN DAN SITUASI PENDIDIKAN
Friday, 25 March 2016
Add Comment
Dua orang atau lebih bersama-sama mengadakan hubungan
antara sesamanya akan membentuk situasi yang disebut pergaulan. Kalau yang
berhubungan tersebut antara orang dewasa dengan anak yang belum dewasa, bisa
terjadi dua situasi. Pertama bisa terjadi pergaulan biasa, selanjutnya disebut
situasi pergaulan. Kedua, situasi lain yang timbul bisa terjadi situasi
pendidikan. Bagi orang awam kedua situasi tersebut sebagai situasi yang sama
dan menyebutkannya pun dengan sebutan yang sama, yaitu: bergaul, atau
sebaliknya mereka sedang mendidik. Dalam pedagogik, kedua situasi tersebut dibedakan
dengan tegas. Berikut ini akan dibahas kedua bentuk situasi tersebut, yaitu
situasi pergaulan dan situasi pendidikan.
1. Situasi Pergaulan
Jika dalam suatu pergaulan antara orang dewasa dengan anak didasarkan
atas niat untuk memuaskan keinginan orang dewasa, untuk keuntungan orang
dewasa, tidak didasarkan untuk mencapai tujuan pendidikan (baik tujuan umum,
tujuan tak lengkap, tujuan sementara, tujuan insidental, dan tujuan
intermedier), maka situasi yang tercipta bukan situasi pendidikan melainkan
situasi pergaulan.
Misalnya, seorang guru menawarkan buku pelajaran kepada murid-muridnya
dengan tujuan mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan buku berupa komisi
dari penerbit, maka tindakan tersebut tidak bisa digolongkan kepada situasi
pendidikan walaupun terjadi di lingkungan sekolah (kelas). Hal tersebut hanyalah
merupakan situasi pergaulan biasa. Situasi yang tercipta dari tindakan guru
tersebut bukanlah situasi pendidikan melainkan hanyalah situasi pergaulan.
Situasi yang berisi tindakan bukan pendidikan tidak akan menciptakan situasi
pendidikan melainkan tetap situasi pergaulan.
Hal tersebut perlu dicamkam baik-baik oleh pendidik termasuk guru
sebagai pendidik disekolah, agar dapat menempatkan diri dalam kedudukan yang
tepat pada setiap situasi yang mungkin dijumpai dalam melaksanakan tugas
sebagai guru/pendidik. Seorang guru harus sadar kapan ia bergaul saja dengan
muridnya dan kapan ia sedang mendidik atau menjadi pendidik.
Dalam situasi pergaulan anak memperoleh kesempatan untuk menjadi
dirinya. Dalam diri setiap anak ada hasrat untuk menjadi dirinya sendiri.
Setiap anak dilahirkan dengan memiliki suatu bentuk prinsip pribadi sendiri.
Tidak ada dua orang anak yang identik-sama di dunia ini. Dalam situasi
pergaulan, anak memperoleh kesempatan untuk mengekspresikan apa yang
dihayatinya. Anak dapat mengungkapkan dengan bebas dan spontan semua pikiran,
perasaan maupun kemauan yang dihayatinya. Dengan adanya kesempatan untuk
bertindak dan bertingkah laku seperti yang ia inginkan, anak dapat
mengembangkan bentuk kepribadiannya sendiri. Di satu pihak anak memang merasa
bergantung kepada orang dewasa, tetapi di pihak lain anak ingin memperoleh
kebebasan atau kemerdekaan. Keinginan tersebut dapat diperoleh anak dalam
pergaulan.
Oleh karena itu, selama anak tidak melanggar norma atau nilai-nilai
pedagogis, sebaiknya ia diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk bergerak dan
berbuat sesuatu. Biarkan anak merasakan kehidupannya sebagai anak. Situasi
pergaulan yang sifatnya wajar dan alamiah memberikan kesempatan kepada anak
untuk menyerap dan mencerna semua pengalaman sesuai pilihan kesukaannya tanpa
merasa ada paksaan. Apabila sikap, ucap, dan perbuatan yang diserap dan dicerna
anak adalah sikap, ucap, dan perbuatan yang baik sesuai dengan norma-norma
susila, maka akibatnya perkembangan anak akan baik. Namun sebaliknya apabila
sikap, ucap, dan perbuatan yang tidak baik atau tidak sesuai dengan norma-norma
susila, maka akibatnya bagi perkembangan pribadi anak akan buruk pula.
Penjelasan di atas menunjukkan kelemahan situasi pergaulan, karena di
satu pihak kadang-kadang merupakan semacam racun yang menyelinap secara
diam-diam dan tersamar yang merusak dan menghancurkan perkembangan pada saat
itu dan bagi masa depan anak. Di pihak lain situasi pergaulan dapat merupakan
suatu hikmah yang tak ternilai harganya dapat membawa kesuburan perkembangan
bagi tercapainya tujuan pendidikan. Karena itu orang tua dan pendidik lainnya
harus memperhatikan situasi pergaulan bukan hanya sebagai suatu “suasana” yang
dapat memberikan pengaruh, melainkan karena lamanya anak berada dalam situasi
pergaulan dibanding situasi pendidikan.
Mengapa Situasi Pergaulan Bisa Terjadi?
Situasi pergaulan akan terjadi apabila ada rasa saling mempercayai
antara dua orang atau lebih yang berada dalam satu tempat yang sama.
Mempercayai orang lain pada hakikatnya mempertaruhkan diri sendiri. Jadi untuk
mempercayai orang lain dibutuhkan suatu keberanian. Jadi kepercayaan merupakan
syarat teknis bagi terjadinya situasi pergaulan. Artinya situasi pergaulan
tidak akan terjadi apabila tidak ada kepercayaan. Anak dan orang dewasa akan
membentuk situasi pergaulan apabila diantara keduanya saling mempercayai.
Anak harus menaruh kepercayaan bahwa orang dewasa yang dihadapinya tidak
akan menjerumuskan dan merugikan dirinya. Anak harus percaya bahwa orang dewasa
yang dihadapinya merupakan teman atau “partner”
pergaulan yang menguntungkan dan dapat memenuhi kebutuhan perkembangan hidupnya
secara psikis dan psikologis. Anak harus dapat menaruh perhatian bahwa ia akan
dapat mengambil banyak manfaat dengan membuka hubungan dengan orang dewasa yang
dihadapinya.
Sebaliknya orang dewasapun harus memberikan kepercayaan kepada anak yang
dihadapinya. Orang dewasa percaya bahwa anak dapat berkembang atas kemampuannya
sendiri, dapat dipengaruhi, memiliki kemampuan sendiri, mau berusaha untuk
berdiri sendiri atas kemampuan sendiri, dan sebagainya. Orang dewasa disamping
memberikan kepercayaan kepada anak, ia akan melindungi anak dalam situasi
pergaulan yang diciptakannya. Dengan demikian situasi pergaulan mengandung
momen perlindungan sehingga anak akan merasa aman dalam situasi tersebut. Perlindungan
harus diberikan, karena kalau tidak, momen kepercayaan akan ditarik kembali
oleh anak.
Perlindungan tidak hanya menjaga keselamatan anak, melainkan juga
memberikan kesempatan pada anak untuk mengembangkan potensi yang baik (susila)
dan mencegah berkembangnya potensi yang tidak baik (asusila). Misalnya anak
yang terlihat melakukan perbuatan yang sesuai dengan kesopanan dan
aturan-aturan yang berlaku, biarkanlah ia untuk terus melakukan perbuatan
tersebut, tapi bagi anak yang melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan tata
kesopanan segera ditegur dan diluruskan, dengan mengubah situasi pergaulan
dengan situasi pendidikan.
Jadi dalam situasi pergaulan tidak ada pengertian bahwa anak dibiarkan
untuk berbuat sesuka kemauannya. Anak harus dilindungi dari semua bahaya, baik
yang datang dari luar maupun dari dalam, baik yang akan merusak fisiknya maupun
jiwanya. Orang dewasa menjaga, memperhatikan atau melindungi anak jasmani dan
rohaninya agar tidak terganggu. Perlindungan yang diberikan orang dewasa, juga
berarti bahwa anak diberi kesempatan untuk mengembangkan dirinya sendiri.
2. Situasi Pendidikan
Situasi pendidikan berlangsung dalam situasi pergaulan. Situasi
pergaulan merupakan ladang yang subur bagi terjadinya situasi pendidikan.
Apabila dalam suatu pergaulan antara orang dewasa dan anak, didasarkan atas
suatu tujuan pendidikan, untuk mencapai tujuan pendidikan (baik umum, tak
lengkap, perantara, dan sebagainya), maka situasi pergaulan yang tercipta
adalah situasi pendidikan, bukan situasi pergaulan biasa. Situasi yang timbul
mulai diisi dengan tindakan pendidikan dan dengan demikian menjadikan situasi
tersebut menjadi situasi pendidikan.
Situasi pendidikan merupakan situasi yang istimewa atau khusus. Karena
situasinya merupakan suatu perubahan dari situasi pergaulan, dimana
komponen-komponennya berubah dari orang dewasa atau orangtua menjadi pendidik,
dan anak menjadi anak didik, kemudian syarat teknisnya dari kepercayaan menjadi
kewibawaan namun mutlak harus ada. Situasi pendidikan merupakan situasi
pergaulan yang diciptakan dengan sengaja karena ada suatu tujuan pendidikan
yang ingin dicapai. Ada suatu nilai yang hendak disampaikan kepada anak sebagai
anak didik dari orang dewasa (orangtua, guru) sebagai pendidik.
Misalnya seorang ibu menyuruh anak perempuannya mencuci piring didasari
oleh suatu tujuan agar anaknya berdisiplin dan mandiri, hal itu merupakan
situasi pendidikan. Dalam hati ibu terbersit suatu tujuan: aku harus mendidik
anak saya agar ia memiliki disiplin dalam kehidupan yang dihadapinya agar
terbiasa hidup mandiri dan tidak tergantung kepada orang lain. Akan tetapi
seandainya ibu menyuruh anaknya mencuci piring sekadar untuk membantu pekerjaan
ibunya sehingga ibunya bisa santai dan tidak capek, situasi tersebut hanyalah
merupakan situasi pergaulan biasa.
Situasi pendidikan merupakan situasi yang istimewa karena secara khusus
diciptakan untuk mencapai tujuan tertentu dari pendidik seperti contoh diatas.
Seluruh kegiatan dalam situasi pendidikan menunjukkan bahwa segala sesuatu yang
dilakukan pendidik, dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan kewaspadaan. Di
dalam situasi pendidikan tidak ada satu tindakan pun yang dilakukan dengan
coba-coba (trial and error- mencoba-coba dan salah). Semua tindakan yang
dilakukan direcanakan dan dipikirkan matang-matang sebelumnya. Apa pengaruh
atau akibat suatu tindakan pendidikan tertentu, apa pengaruh sampingannya, apa
kelanjutannya, semuanya telah dipertimbangkan dengan cermat sebelum
dilaksanakan.
Jadi situasi pendidikan adalah suatu keadaan dimana terjadi komunikasi
interaktif antara orang dewasa dan anak, antara orangtua (ayah/ibu) dengan
anaknya, antara guru dengan muridnya secara sengaja dan terencana untuk
mencapai tujuan pendidikan yaitu manusia dewasa.
Dalam Undang-undang Nomor tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
dikemukakan bahwa: pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar anak didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya,
merupakan suatu keadaan dimana terjadi komunikasi interaktif antara orang
dewasa dan anak. Sedangkan agar anak memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara, merupakan tujuan
pendidikan yaitu manusia dewasa. Jadi manusia dewasa menurut Undang-undang
Nomor 20/2003 adalah manusia Indonesia yang memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, mampu mengendalikan diri, berkepribadian, manusia yang cerdas,
memiliki akhlak mulia serta memiliki keterampilan yang diperlukan bagi dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
Situasi pendidikan merupakan situasi yang istimewa atau khusus.
Dikatakan istimewa atau khusus karena situasi pendidikan merupakan perubahan
dari situasi pergaulan ke situasi pendidikan, dimana orang dewasa berubah
menjadi pendidik, dan anak menjadi anak didik, kemudian syarat teknisnya dari
kepercayaan menjadi kewibawaan. Situasi pendidikan merupakan situasi pergaulan
yang diciptakan dengan sengaja karena ada tujuan pendidikan yang hendak
dicapai. Ada suatu nilai yang akan disampaikan kepada anak sebagai anak didik
dari orang dewasa sebagai pendidik.
Dalam situasi pendidikan terdapat komponen-komponen seperti: pendidik,
anak didik, tindakan pendidikan atau alat pendidikan, dan kewibawaan.
Kewibawaan merupakan unsur terpenting yang bisa digolongkan sebagai syarat
teknis dalam situasi pendidikan seperti halnya kepercayaan yang merupakan
syarat teknis dalam situasi pergaulan. Apabila kewibawaan tidak ada maka tidak
akan tercipta situasi pendidikan, yang ada hanyalah situasi pergaulan saja.
B. Alat Pendidikan
Seperti yang telah dijelaskan dimuka bahwa situasi
pendidikan merupakan situasi pergaulan yang istimewa, yaitu pergaulan antara
pendidik dan anak didik. Dalam pergaulan tersebut dilakukan tindakan tertentu
dengan sengaja dan sadar serta memiliki tujuan tertentu yang hendak dicapai.
Tindakan tertentu itulah yang disebut dengan alat pendidikan. Jadi dapat dijelaskan bahwa alat pendidikan adalah
suatu tindakan yang dilakukan dengan sengaja oleh pendidik terhadap anak didik
dengan maksud untuk mencapai tujuan yang diharapkan oleh pendidik yang
menggunakan alat pendidikan tersebut.
1. Alat Pendidikan dan Faktor Pendidikan
Alat pendidikan tidak muncul begitu saja dalam situasi pendidikan. Sama
halnya dengan situasi pendidikan yang tidak muncul begitu saja, melainkan
berkembang dari situasi pergaulan. Demikian juga dengan alat pendidikan. Benih
alat pendidikan sudah ada dalam situasi pergaulan, yang dinamakan faktor pendidikan. Jadi faktor
pendidikan adalah semua benih kegiatan yang akan dipergunakan untuk mendidik
yang terdapat dalam situasi pergaulan. Dengan kata lain situasi pergaulan
memiliki sesuatu yang berpotensi untuk dijadikan alat pendidikan. Seperti oleh
orang dewasa yang bergaul dengan anak, dapat memilih dengan leluasa (apabila
mau) apakah akan member nasihat, petunjuk, teguran, sindiran, hukuman,
ganjaran, pujian, dan sebagainya. Semua tindakan tersebut sudah ada dalam
situasi pergaulan dan dalam situasi pergaulan semua tindakan tersebut disebut faktor pendidikan. Manakala situasi
pergaulan berubah menjadi situasi pendidikan (situasi pergaulan terjadi tanpa
tujuan pendidikan, sedangkan situasi pendidikan didasari untuk mencapai tujuan
pendidikan), maka tindakan tersebut disebutlah alat pendidikan.
Sebagai contoh: Si Hasan dan si Ali dua orang murid SD kelas 4
bersama-sama mencuri uang dari tas Bapak guru Mereka. Akhirnya dengan berbagai
cara Bapak guru mengetahuinya bahwa yang mencuri uang adalah si Hasan dan si
Ali. Kemudian Bapak guru melaporkan kepada kedua orangtua mereka. Ayah si Hasan
setelah menerima laporan dari pak guru langsung memarahi anaknya dengan
didasari kekesalan, rasa malu, dan rasa benci kepada anaknya bahkan tanpa
disadari, maka tindakan ayah si Hasan memarahi anknya tersebut digolongkan
sebagai faktor pendidikan, dan itu terjadi dalam situasi pergaulan. Tetapi ayah
si Ali memarahi juga anaknya, namun ayah si Ali marahnya itu didasari tujuan
agar si Ali sadar bahwa perbuatan tersebut tidak dibenarkan dan sangat
memalukan orang tua, sambil menasehatinya untuk tidak mengulangi perbuatan
tersebut. Tindakan ayah si Ali dapat dikategorikan sebagai alat pendidikan.
Alat pendidikan merupakan suatu tindakan atau situasi yang dengan
sengaja diadakan untuk mencapai suatu tujuan pendidikan, yaitu kedewasaan. Alat
pendidikan merupakan suatu situasi yang diciptakan secara khusus dengan maksud
mempengaruhi anak didik secara pedagogis (edukatif).
Jika suatu situasi diciptakan dengan maksud mempengaruhi secara
pedagogis, misalnya dinding kamar dicat putih bersih untuk membiasakan anak
setiap melihat kotoran yang terlekat di dinding serta mendidik kebersihan, maka
kita memiliki alat pendidikan. Seandainya dinding itu kita cat putih bersih
hanya atas pertimbangan estetis, maka akibatnya dapat sama dengan yang
diuraikan diatas, namun yang kita hadapi dalam hal terakhir bukan alat
pendidikan melainkan faktor pendidikan.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa didalam situasi pergaulan,
semua pengaruh/tindakan yang orang dewasa berikan kepada anak didik merupakan
faktor pendidikan: sedangkan dalam situasi pendidikan, semua pengaruh/tindakan
yang diberikan orang dewasa kepada anak didik adalah alat pendidikan.
Selanjutnya Langeveld (1980) mengelompokkan lima jenis alat pendidikan
yaitu: 1) perlindungan, 2) kesepahaman, 3) kesamaan arah dalam pikiran dan
perbuatan, 4) perasaan bersatu, 5) pendidikan karena kepentingan diri sendiri.
a.
Perlindungan
Perlindungan merupakan syarat dasar bagi semua pergaulan, termasuk di
dalamnya pergaulan pendidikan. Orang dewasa
(orang tua/guru) memperhatikan anak, melindungi anak baik jasmani/rohani dengan
membatasi dengan perbuatan, kelakuan dan ucapan, dan menjaga anak agar jangan
sampai merugikan diri anak itu sendiri. Dalam situasi pendidikan ini bisa
muncul alat-alat pendidikan berupa membuat supaya mengalami, membiarkan
supaya menyelidiki, menghalangi atau melarang, memerintahkan, menciptakan dan
mempertahankan tata tertib dan peraturan (misalnya tidur harus tepat waktu, jika makan harus dihabiskan, dsb).
b.
Kesepahaman
Kesepahaman
timbul karena orang dewasa, baik disadari maupun tidak disadari akan menjadi
contoh (teladan) bagi anak didik dan anak akan mencoba (meniru) perbuatan
pendidik. Hal ini berarti bahwa anak telah memahami perbuatan pendidik sebagai
orang dewasa. Dengan pemahaman ini terjadilah interaksi pendidikan antara anak
dan pendidik. Orang tua atau guru, berbuat bersama-sama dengan anak, atau berbuat
dihadapan anak. Dalam situasi pendidikan ini
mungkin akan muncul alat-alat pendidikan seperti: menjadi teladan dan cntoh
bagi anak, menyuruh (meniru) perbuatan, memberi kesempatan untuk turut serta
atau untuk melihat dalam suatu kegiatan, menjelaskan, menugaskan, melarang dan
menghambat (supaya jangan terjadi).
c. Kesamaan Arah dalam
Pikiran dan Perbuatan
Kesamaan
arah dalam pikiran dan perbuatan dapat berupa pembauran dari pendidik dan
penyesuaian dari anak didik. Dalam hal ini anak didik berbuat atau bertindak
sesuai dengan kata hati dan kehendaknya. Anak diikut sertakan dalam kehidupan
orang dewasa (pendidik) dengan memberikan kesempatan kepadanya turut
bertanggung jawab agar anak-anak makin mau memikul tanggung jawab. Anak
menngamati berkaitan dengan kepentingan sendiri.
Dalam
hubungan ini perlu diadakan perencanaan bersama, dikemukakan maksud dan tujuan
kegiatan, diadakan perjanjian, anak diingatkan pada tanggung jawabnya dan pada janjinya. Dari pihak anak
dituntut kedisiplinan pada peraturan dan janjinya.
d.
Perasaan Bersatu
Perasaan
bersatu timbul karena interaksi yang berlangsung antara pendidik dan anak didik
yang bersifat kekeluargaan, dan menimbulkan saling pengertian serta saling
mengisi di antara kedua pihak. Anak yang telah terbiasa dalam suasana perasaan bersatu, akan memperoleh
pengalaman dasar tentang corak hidup bermasyarakat untuk saling mengisi,
mempercayai, setia dan jujur. Tindakan
atau perbuatan pendidikan untuk memelihara perasaan bersatu dapat berupa menasehati,
memperingatkan, menegur dan dapat juga dilaksanakan hukuman.
e. Pendidikan Karena
Kepentingan Diri Sendiri
Pendidikan
karena kepentingan sendiri, berarti si anak telah menyadari kepentingan dirinya
sendiri dan ia bertanggung jawab untuk membentuk dirinya sendiri. Memberi
kebebasan kepada anak didik merupakan alat pendidikan terakhir karena anak
didik harus bertanggung jawab, harus berdiri sendiri dan bebas untuk memilih
nilai-nilai hidup yang sesuai kata hatinya, dan disinilah ia memilih pendidikan
dalam taraf penyadarannya. Jadi alat pendidikan ini diberikan kepada anak pada
tahap akhir dari pendidikan, dimana anak akan mencapai kedewasaannya.
2. Kriteria Menggunakan Alat Pendidikan
Pedagogik sebagai ilmu pendidikan anak (ilmu mendidik)
tidak dapat memberikan resep, kapan tindakan harus bagini dan kapan tindakan
harus begitu. Penggunaan alat pendidikan tertentu harus dilihat dalam hubungannya
dengan situasi dimana gejala pendidikan terjadi.
Beberapa kriteria yang harus diperhatikan dalam
memilih alat pendidikan adalah sebagai berikut:
a.
Tujuan Pendidikan
yang Akan Dicapai
Jika seorang pendidik
akan menggunakan alat pendidikan, ia harus tahu tujuan pendidikan mana yang
akan dicapai dengan tindakan tersebut. Seandainya seorang siswa kelas 4 di
hadapan gurunya bertingkah laku tidak sopan, maka guru harus segera
mempertimbangkan alat pendidikan mana yang akan dilakukan. Berkelakuan tidak
sopan merupakan masalah kesusilaan, dan itu merupakan masalah yang berkaitan
dengan tujuan akhir pendidikan, bukan tujuan lainnya. Dalam hal ini guru dapat
menggunakan alat pendidikan berupa nasehat dan teguran serta memberikan teladan
untuk memperbaiki perbuatan yang tidak sopan yang dilakukan anak tersebut.
Tujuan yang ingin dicapai adalah anak berkembang menjadi manusia dewasa susila,
manusia yang tahu sopan santun. Jadi dalam hal ini guru sekaligus menggunakan
tiga alat pendidikan berupa nasihat, teguran, dan memberi teladan.
b.
Orang Dewasa yang
Menggunakan Alat Pendidikan
Penggunaan alat pendidikan harus
mempertimbangkan pendidik mana yang akan menggunakan alat pendidikan tersebut.
Seorang anak yang membuat kesalahan dan dinasehati oleh ayah kandungnya atau
ibu kandungnya, akan lain perasaan dan pikirannya apabila dinasehati oleh ayah
tirinya atau ibu tirinya. Begitu pula seorang murid SD dinasehati oleh wali
kelasnya akan berbeda perasaannya apabila dinasihati oleh kepala sekolah atau
guru kelas yang lainnya.
Seorang guru yang berwajah simpatik akan
memberikan pengaruh yang berbeda dibandingkan dengan seorang guru yang dari
pembawaannya berwajah kejam, walaupun nasihat yang disampaikan kepada ada
tersebut isi dan kata-katanya sama. Jadi hasil suatu alat pendidikan bergantung
pula pada siapa yang bertindak menjadi pendidiknya. Siapa yang menggunakan alat
pendidikan tersebut.
c.
Anak Mana yang
Dikenai Alat Pendidikan
Alat pendidikan dikenakan kepada anak
didik. Hal ini mengandung pengertian bahwa dalam memilih alat pendidikan harus
memperatikan anak didik. Apakah anak didik itu laki-laki, perempuan, anak
pemurung, periang dan lincah, pendiam, seorang kanak-kanak, seorang anak
remaja, dan sebagainya. Jadi dalam memilih alat pendidikan harus memperhatikan
jenis kelamin anak, watak dan pembawaannya, latar belakang kehidupannya, taraf
perkembangan psikologisnya, taraf perkembangan kecerdasannya, dsb.
d.
Bagaimana Alat
Pendidikan Itu Bekerja, Memuaskan atau Tidak
Seorang guru yang telah memberikan teguran,
nasihat, atau hukuman, dan sebagainya tetap harus memperhatikan apakah alat
pendidikan yang digunakan terhadap siswanya benar-benar telah mencapai
tujuannya. Jika ada perubahan dalam tingkah laku anak berarti alat pendidikan sudah
mencapai tujuannya, dan tidak perlu disusul dengan alat pendidikan lainnya.
Tetapi apabila tingkah laku anak belum berubah setelah diberi nasihat, bisa
dilanjutkan dengan teguran yang lebih keras, bahkan mungkin bisa diberikan alat
pendidikan berupa hukuman.
Mantap atau kurang mantapnya penggunaan
suatu alat pendidikan banyak tergantung oleh kualitas pendidik itu sendiri,
mencakup pengalaman pendidik, sifat kepribadiannya, taraf intelegensinya, dan
pada kemampuan pendidik itu sendiri untuk menjelma menjadi alat pendidikan.
Jadi mendidik pada hakekatnya adalah menjadi alat pendidikan itu sendiri.
C. Jenis-jenis Alat
Pendidikan
Berikut ini kita
analisis beberapa jenis alat pendidikan, seperti pembiasaan, pengawasan,
perintah, dan larangan.
1. Pembiasaan
Pembiasaan adalah salah
satu alat pendidikan yang penting sekali, terutama bagi anak-anak yang masih
kecil. Anak-anak kecil belum menyadari apa yang dikatakan baik dan apa yang
dikatakan buruk dalam arti asusila. Oleh karena itu, pembiasaan merupakan alat
satu-satunya. Sejak dilahirkan anak-anak harus dilatih dengan
kebiasaan-kebiasaan dan perbuatan-perbuatan yang baik, seperti dimandikan dan
ditidurkan pada waktu tertentu, diberi makan dengan teratur dan sebagainya.
Anak-anak dapat
menurut dan taat kepada peraturan-peraturan dengan jalan membiasakannya dengan
perbuatan-perbuatan yang baik, di dalam rumah tangga atau keluarga, di sekolah
dan juga di tempat lain.
Beberapa kriteria yang harus diperhatikan pendidik
dalam menerapkan pembiasaan, seperti berikut (Purwanto, 2004) :
a.
Mulai pembiasaan sebelum terlambat, sebelum
anak didik memiliki kebiasaan lain yang berbeda/berlawanan dengan hal-hal yang
akan dibiasakan.
b.
Pembiasaan
hendaknya dilakukan secara terus-menerus, dilakukan secara teratur berencana
sehingga akhirnya menjadi suatu kebiasaan yang otomatis, untuk itu diperlukan
pengawasan.
c.
Pendidik hendaknya
konsekuen, bersikap tegas dan tetap teguh terhadap pendirian yang telah
diambilnya. Jangan member kesempatan kepada anak untuk mengingkari kebiasaan
yang telah dilakukannya.
d.
Pembiasaan yang
awalnya mekanistis, harus menjadi kebiasaan yang disertai dengan kesadaran dan
kata hati anak itu sendiri.
2. Pengawasan
Di atas
telah dijelaskan bahwa pembiasaan yang baik
membutuhkan pengawasan. Pengawasan itu penting sekali dalam mendidik anak.
Tanpa pengawasan berarti membiarkan anak berbuat sekehendaknya. Anak tidak
akan dapat membedakan yang baik dan yang buruk, tidak mengetahui mana yang
seharusnya dihindari dan mana yang boleh dan harus dilaksanakan, mana yang
membahayakan dan mana yang tidak. Pendidik jangan membiarkan anak tumbuh menurut
alamnya tanpa perhatian dan pengawasan pendidik.
Dengan
membiarkan anak, kemungkinan besar anak itu menjadi
tidak patuh dan tidak dapat mengetahui kemana arah tujuan hidupnya.
Memang ada pula ahli-ahli didik yang menuntut
adanya kebebasan yang penuh dalam pendidikan. Roussean, umpamanya, adalah
seorang pendidik yang beranggapan bahwa semua anak yang sejak dilahirkan adalah
baik, menganjurkan pendidikan menurut alam. Menurut pendapatnya, anak hendaknya
dibiarkan tumbuh menurut alamnya yang baik itu sehingga mengenai hukuman pun
Roussean menganjurkan hukuman alami.
Tetapi pendapat para ahli didik sekarang
umumnya, sependapat bahwa pengawasan adalah alat pendidikan yang penting dan
harus dilaksanakan, biarkan secara berangsur-angsur anak itu harus diberi
kebebasan. Pendapat yang akhir ini mengatakan bukankah kebebasan itu yang
dijadikan pangkal atau permulaan pendidikan, melainkan kebebasan itu yang
hendak diperoleh pada akhirnya.
3. Perintah
Perintah bukan hanya apa yang keluar dari mulut seseorang yang harus
dikerjakan oleh orang lain. Melainkan dalam hal ini termasuk pula
peraturan-peraturan umum yang harus ditaati oleh anak-anak. Tiap-tiap perintah
dan peraturan dalam pendidikan mengandung norma-norma kesusilaan, jadi bersifat
memberi arah atau mengandung tujuan ke arah peraturan susila.
Suatu perintah atau peraturan dapat mudah ditaati oleh
anak-anak jika pendidik sendiri juga menaati dan hidup menurut
peraturan-peraturan itu. Tidak mungkin suatu aturan sekolah ditaati oleh
murid-muridnya jika guru sendiri tidak menaati peraturan yang telah dibuatnya
itu.
Dalam memberikan perintah, ada beberapa syarat yang
perlu diperhatikan (Ngalim Purwanto, 2004), yaitu:
a.
Perintah hendaknya terang dan singkat, jangan
terlalu banyak komentar, sehingga mudah dimengerti oleh anak.
b.
Perintah
hendaknya disesuaikan dengan tingkat usia, dan kesanggupan anak.
c.
Kadang kita perlu
mengubah perintah menjadi suatu perintah yang lebih bersifat permintaan,
sehingga tidak terlalu keras kedengarannya
d.
Janganlah
terlalu sering dan berlebihan dalam memberi perintah, karena kemungkinan anak
akan bosan dan akhirnya tidak patuh.
e.
Pendidik
hendaklah konsekuen terhadap apa yang telah diperintahkannya.
f.
Suatu perintah
yang bersifat mengajak dimana si pendidik turut berpartisipasi, pada umumnya
lebih ditaati oleh anak.
4. Larangan
Di samping
memberi perintah, sering pula kita harus melarang perbuatan anak-anak. Larangan
itu biasanya kita keluarkan jika anak melakukan sesuatu yang tidak baik, yang
merugikan, atau dapat membahayakan dirinya.
Beberapa syarat yang harus diperintahkan dalam melaksanakan
larangan adalah sebagai berikut :
a.
Sama halnya dengan perintah, larangan itu
harus diberikan dengan singkat, supaya dimengerti maksud larangan itu.
b.
Jangan terlalu
sering menggunakan larangan.
c.
Bagi anak yang
masih kecil, larangan dapat dialihkan kepada sesuatu yang lain, yang menarik
perhatian dan minat anak.
5. Hukuman
Menghukum
menurut Langeveld (1980), adalah suatu perbuatan yang dengan sadar, sengaja
menyebabkan penderitaan bagi seseorang biasanya yang lebih lemah, dan
dipercayakan kepada pendidik untuk dibimbing dan dilindungi, dan hukuman
tersebut diberikan dengan maksud anak benar-benar merasakan penderitaan
tersebut. Hukuman diberikan sebagai suatu pembinaan bagi anak untuk menjadi pribadi susila.
Hukuman
memang akan menimbulkan penderitaan bagi anak didik, karena itu hukuman harus
didasari oleh motif positif, yaitu untuk memperbaiki pribadi anak. Hukuman akan
berhasil apabila dalam diri anak timbul penyesalan terhadap kesalahan yang
telah dilakukannya dan ia tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Hukuman
tidak boleh diberikan karena balas dendam kepada anak.
Dalam
melaksanakan hukuman ada beberapa teori yang mendasarinya yaitu sebagai
berikut:
a.
Teori Pembalasan (Balas Dendam)
Hukuman
diberikan sebagai balas dendam terhadap anak, misalnya karena anak telah
mengecewakan si pendidik, misalnya guru merasa dilecehkan martabatnya.
b.
Teori Ganti Rugi
Hukuman
diberikan kepada anak, karena ada kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatannya,
misalnya anak bermain-main di dalam kelas sehingga vas bunga yang ada dimeja
guru jatuh dan pecah. Guru memberikan hukuman kepada anak yang bermain sehingga
vas bunga pecah, dengan mengharuskan mengganti vas bunga tersebut.
c.
Teori Perbaikan
Hukuman
diberikan agar anak dapat memperbaiki dan tidak mengulangi kesalahannya.
Misalnya dengan memberikan teguran, menasehati atau memberi pengertian.
d.
Teori Menakut-nakuti
Teori
ini diberikan agar anak didik merasa takut untuk mengulangi perbuatannya,
kesalahannya sehingga ia tidak akan melakukan perbuatan tersebut. Cara
menakut-nakuti biasanya dengan ancaman.
e.
Teori Menjerakan
Teori
ini dilaksanakan dengan tujuan agar anak setelah menjalani hukuman merasa jera
sehingga ia tidak mengulanginya kembali.
DAFTAR PUSTAKA
________. 2013. Landasan Pedagogik. (Online) http://iintelektualmuda.blogspot.com/2013/11/landasan-pedagogik.html. Diakses: 02 Oktober 2014.
Danim, Sudarwan. 2013. Pedagogi, Andragogi, dan Heutagogi. Bandung: Alfabeta.
Ngulum, Miftachul. 2012. Alat-alat
Pendidikan. (Online) http://ulum-boys.blogspot.com/2012/01/alat-alat-pendidikan.html. Diakses: 02 Oktober 2014.
Rizky. 2012. Jenis Alat Pendidikan. (Online) http://rizkynovianis.wordpress.com/2012/11/10/dan-jenis-alat-pendidikan/. Diakses: 02 Oktober 2014.
Sadulloh, Uyoh.
2011.
Pedagogik
(Ilmu Mendidik). Bandung: Alfabeta.
Santrock, John. 2011. Psikologi
Pendidikan (Edisi Kedua). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Syamsu dan Nani. 2011. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta:
Rajawali Press.
SITUASI PERGAULAN DAN SITUASI PENDIDIKAN
0 Response to " SITUASI PERGAULAN DAN SITUASI PENDIDIKAN"
Post a Comment