Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik
Wednesday, 30 March 2016
Add Comment
PENDEKATAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK
Pembelajaran
matematika realistik atau Realistic Mathematics Education (RME) merupakan suatu
pendekatan dalam pembelajaran matematika dan diketahui sebagai pendekatan yang
telah berhasil di Nedherlands.
Teori ini mengacu pada pendapat
Freudenthal yang mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan
matematika merupakan aktivitas manusia. Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan
relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Matematika sebagai aktivitas
manusia berarti manusia harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide
dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa (Gravemeijer, 1994).
Upaya ini dilakukan melalui penjelajahan berbagai situasi dan
persoalan-persoalan “realistik”. Realistik dalam hal ini dimaksudkan
tidak mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat dibayangkan oleh
siswa (Slettenhaar, 2000). Prinsip penemuan kembali dapat diinspirasi
oleh prosedur-prosedur pemecahan informal, sedangkan proses penemuan kembali
menggunakan konsep matematisasi.
Dua jenis matematisasi diformulasikan
oleh Treffers (1991), yaitu matematisasi horisontal dan vertikal. Contoh
matematisasi horisontal adalah pengidentifikasian, perumusan, dan
penvisualisasi masalah dalam cara-cara yang berbeda, dan pentransformasian
masalah dunia real ke masalah matematik. Contoh matematisasi vertikal
adalah representasi hubungan-hubungan dalam rumus, perbaikan dan penyesuaian
model matematik, penggunaan model-model yang berbeda, dan
penggeneralisasian. Kedua jenis
matematisasi ini mendapat perhatian seimbang, karena kedua matematisasi
ini mempunyai nilai sama (Van den
Heuvel-Panhuizen, 2000) . Berdasarkan matematisasi horisontal dan
vertikal, pendekatan dalam pendidikan matematika dapat dibedakan menjadi empat
jenis yaitu mekanistik, emperistik, strukturalistik, dan realistik.
Pendekatan mekanistik merupakan pendekatan tradisional dan didasarkan pada apa
yang diketahui dari pengalaman sendiri (diawali dari yang sederhana ke yang
lebih kompleks). Dalam pendekatan ini manusia dianggap sebagai mesin.
Kedua jenis matematisasi tidak digunakan.
Pendekatan emperistik adalah
suatu pendekatan dimana konsep-konsep matematika tidak diajarkan, dan
diharapkan siswa dapat menemukan melalui matematisasi horisontal.
Pendekatan strukturalistik merupakan pendekatan yang menggunakan sistem formal,
misalnya pengajaran penjumlahan cara panjang perlu didahului dengan nilai
tempat, sehingga suatu konsep dicapai melalui matematisasi vertikal.
Pendekatan realistik adalah suatu pendekatan yang menggunakan masalah realistik
sebagai pangkal tolak pembelajaran. Melalui aktivitas matematisasi
horisontal dan vertikal diharapkan siswa dapat menemukan dan mengkonstruksi
konsep-konsep matematika.
Beberapa
pakar merumuskan karaktreristik RME adalah sebagai berikut:
1) Menggunakan
Konteks “Dunia Nyata”
“Dunia
nyata” tidak hanya sebagai sumber matematisasi, tetapi juga sebagai tempat
untuk mengaplikasikan kembali matematika. Matematisasi (De
Lange,1987) dalam RME, pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual
(“dunia nyata”), sehingga memungkinkan mereka menggunakan pengalaman sebelumnya
secara langsung. Proses penyarian (inti) dari konsep yang sesuai dari
situasi nyata dinyatakan oleh De Lange (1987) sebagai matematisasi
konseptual. Melalui abstraksi dan formalisasi siswa akan mengembangkan
konsep yang lebih komplit. Kemudian, siswa dapat mengaplikasikan
konsep-konsep matematika ke bidang baru dari dunia nyata (applied
mathematization). Oleh karena itu, untuk menjembatani
konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari perlu diperhatikan
matematisasi pengalaman sehari-hari (mathematization of everyday experience)
dan penerapan matematika dalam sehari-hari (Cinzia Bonotto, 2000).
2) Menggunakan
Model-model (Matematisasi)
Istilah
model berkaitan dengan model situasi dan model matematik yang dikembangkan oleh
siswa sendiri (self developed models). Peran self
developed models merupakan jembatan bagi siswa dari situasi real ke
situasi abstrak atau dari matematika informal ke matematika formal. Artinya
siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah. Pertama adalah
model situasi yang dekat dengan dunia nyata siswa. Generalisasi dan
formalisasi model tersebut akan berubah menjadi model-of
masalah tersebut. Melalui penalaran matematik model-of
akan bergeser menjadi model-for masalah yang sejenis. Pada akhirnya, akan
menjadi model matematika formal.
3) Menggunakan
Produksi dan Konstruksi
Streefland
(1991) menekankan bahwa dengan pembuatan “produksi bebas” siswa terdorong untuk
melakukan refleksi pada bagian yang mereka anggap penting dalam proses
belajar. Strategi-strategi informal siswa yang berupa prosedur pemecahan
masalah kontekstual merupakan sumber inspirasi dalam pengembangan pembelajaran
lebih lanjut yaitu untuk mengkonstruksi pengetahuan matematika
formal.
4) Menggunakan
Interaktif
Interaksi antarsiswa dengan guru merupakan hal yang
mendasar dalam RME. Secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa
negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan atau refleksi
digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal
siswa.
5) Menggunakan
Keterkaitan (Intertwinment)
Dalam
RME pengintegrasian unit-unit matematika adalah esensial. Jika dalam
pembelajaran kita mengabaikan keterkaitan dengan bidang yang lain, maka akan
berpengaruh pada pemecahan masalah. Dalam mengaplikasikan matematika,
biasanya diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks, dan tidak hanya
aritmetika, aljabar, atau geometri tetapi juga bidang lain.
E. Prinsip
Pembelajaran Matematika Realistik
Gravemeijer
(1994) menyatakan tiga prinsip dalam mendesain pembelajaran matematika
realistic, yaitu: (a) guided reinvention and progressive mathematizing, (b)
didactical phenomenology dan (c) self developed models. Ketiga prinsip tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Penemuan
kembali secara terbimbing dan proses matematisasi secara progresif (guided
reinvention and progressive mathematizing).
Berdasarkan
prinsip reinvention, para siswa semestinya diberi kesempatan untuk
mengalami proses yang sama dengan proses saat pertama kali matematika
ditemukan. Sejarah matematika dapat
dijadikan sumber inspirasi dalam merancang materi pelajaran. Selain itu,
prinsip reinventioni dapat dikembangkan berdasarkan prosedur
penyelesaian informal. Dalam hal ini strategi informal dapat dipahami untuk
mengantisipasi prosedur penyelesaian formal. Untuk keperluan tersebut, maka
perlu dirumuskan masalah kontekstual yang dapat menjadikan keberagaman prosedur
penyelesaian yang mengindikasikan rute belajar melalui proses matematisasi
progresif (Gravemeijer, 1994).
2. Fenomena
yang bersifat mendidik (didactical phenomenology)
Berdasarkan
prinsip ini penentuan situasi yang mengandung
penerapan topik matematika didasarkan pada dua pertimbangan, yaitu: (i)
untuk mengungkapkan jenis aplikasi yang harus diantisipasi dalam pembelajaran,
dan (ii) mempertimbangkan pantas tidaknya konteks itu, sebagai hal yang
berpengaruh dalam proses matematisasi progresif. Secara histories, matematika
dikembangkan dari penyelesaian masalah praktis, sehingga memungkinkan ditemukan
masalah yang melahirkan proses perkembangan dalam aplikasi terkini. Selanjutnya
dapat dibayangkan bahwa matematika formal terbentuk melalui proses generalisasi
dan formalisasi prosedur-prosedur penyelesaian masalah situasi khusus dan
konsep tentang berbagai situasi. Karena itu, tujuan investigasi fenomena ini
adalah menemukan situasi-situasi masalah dengan prosedur penyelesaian yang
dapat dijadikan dasar untuk matematisasi vertikal (Gravemeijer, 1994).
3. Mengembangkan
sendiri model-model (self developed models )
Prinsip
ini menyatakan bahwa model yang dikembangkan sendiri oleh siswa berperan
menjembatani perbedaan antara pengetahuan matematika informal dan matematika
formal. Pertama kali model ini merupakan model yang sudah dikenal oleh siswa.
Melalui proses generalisasi dan formalisasi, model tersebut menjadi sesuatu
yang berdiri sendiri, tidak tergantung pada situasi asalnya. Hal ini sangat mungkin digunakan sebagai model untuk
penalaran matematika. Oleh karena itu, siswa belajar dari tahap situasi nyata,
tahap pemodelan (referensi), generalisasi dan tahap formal matematika
(Gravemeijer, 1994). Sedangkan Soedjadi (2001) menggambarkan bahwa urutan
pembelajaran tersebut adalah: masalah kontekstual model
dari masalah kontekstual model ke
arah formal pengetahuan formal
PENDEKATAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK
0 Response to "Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik"
Post a Comment