PERKEMBANGAN SOSIOEMOSIONAL ANAK
Friday, 25 March 2016
Add Comment
PERKEMBANGAN SOSIOEMOSIONAL ANAK
Ada sejumlah teori tentang perkembangan sosioemosional
anak.
1.
Teori ekologi Bronfenbrenner
Teori ekologi dikembangkan oleh Urie
Bronfenbrenner (1917) yang fokus utamanya adalah pada konteks sosial di mana
anak tinggal dan orang-orang yang mempengaruhi perkembangan anak. .
Teori ekologi Bronfenbrenner terdiri
dari lima sistem lingkungan yang merentang dari interaksi interpersonal sampai
ke pengaruh kultur yang lebih luas. Bronfenbrenner menyebut sistem tersebut
sebagai berikut :
a. Mikrosistem adalah setting.
Dimana individu menghabiskan banyak waktu. beberapa konteks dalam sistem ini antara lain keluarga, teman sebaya,
sekolah dan tetangga. Dalam mikrosistem
ini, individu berinteraksi langsung dengan orang tua, guru, teman seusia dan
orang lain. Menurut Bronfenbrenner murid bukan penerima pengalaman secara pasif
didalam setting ini, tetapi murid
adalah orang yang berinteraksi secara timbal balik dengan orang lain, dan
membantu menkonstruksi setting tersebut.
b. Mesosistem adalah kaitan antar mikrosistem. Contohnya, hubungan antara
pengalaman dalam keluarga dengan pengalaman disekolah, dan antara keluarga dan
teman sebaya.Misalnya,
salah satu mesosistem penting adalah hubungan antara sekolah dan keluarga.
Dalam sebuah studi terhadap seribu anak kelas delapan (atau setingkat kelas 3
SMP ke awal SMA (Epstein, 1983). murid yang diberi kesempatan lebih banyak
untuk berkomunikasi dan mengambil keputusan, entah itu di rumah atau di kelas,
menunjukkan inisiatif dan nilai akademik yang lebih baik.
Dalam
studi mesosistem lainnya, murid SMP dan SMA berpartisipasi dalam sebuah program
yang didesain untuk menghubungkan keluarga, teman, sekolah, dan orang tua
(Cooper, 1995). sasaran program ini (yang dilakukan oleh sebuah unversitas)
adalah murid dari kalangan Latino dan Afrika-Amerika di keluarga kelas menengah
kebawah. Para murid mengatakan bahwa program tersebut membantu mereka
menjembatani kesenjangan antardunia sosial yang berbeda. Banyak murid dalam program
ini memandang sekolah dan lingkungan mereka sebagai konteks di mana mereka
diperkirakan akan gagal dalam studi, menjadi hamil dan keluar dari sekolah,
atau berperilaku nakal. Program ini memberi murid harapan dan tujuan moral
untuk melakukan “sesuatu yang baik bagi masyarakat anda”, seperti bekerja di
komunitas dan mengajak saudara untuk bersekolah. Kita akan membahasa lebih
banyak tentang hubungan keluarga sekolah nanti.
c. Eksosistem terjadi ketika pengalaman di setting lain (dimana murid berperan aktif) memperngaruhi pengalaman
murid dan guru dalam konteks mereka sendiri. Misalnya dewan sekolah dan dewan
pengawas taman di dalam satu komunitas. Mereka memegang peran kuat dalam
menentukan kualitas sekolah, taman, fasilitas rekreasi, dan perpustakaan. Keputusan
mereja bisa membantu atau menghambat perkembangan anak.
d. Makrosistem adalah kultur yang lebih luas. Kultur adalah istilah luas
yang mencakup peran etnis dan faktor sosioekonomi dalam perkembangan anak.
Kultur adalah konteks terluas dimana murid dan guru tinggal, termasuk nilai dan
adat istiadat masyarakat. Misalnya beberapa kultur di beberapa negara Islam
menekankan pada peran gender tradisional dan pendidikannyaa mempromosikan
dominasi pria. Kultur lain (seperti di
AS) menerima peran gender yang lebih bervariasi dan pendidikannya semakin
mendukung nilai kesetaraan antara pria dan wanita. Salah
satu aspek dari status sosiekonomi murid adalah faktor perkembangan dalam
kemiskinan. Kemiskinan dapat memengaruhi perkembangan anak dan merusak
kemampuan mereka untuk belajar, meskipun beberapa anak di lingkungan yang
miskin sangat ulet.
e. Kronosistem adalah kondisi sosiohistoris dari perkembangan anak. Misalnya,
murid-murid sekarang ini tumbuh sebagai generasi yang tergolong pertama (Louv,
1990). anak-anak sekarang adalah generasi pertama yang mendapatkan perhatian
setiap hari, generasi pertama yang tumbuh di lingkungan elektronik yang
dipenuhi oleh komputer dan bentuk media baru, generasi pertama yang tumbuh
dalam revolusi seksual, dan generasi pertama yang tumbuh di dalam kota yang
semrawut dan tak terpusat, yang tidak lagi jelas batas antara kota, pedesaan
atau subkota. Bronferbrenner makin banyak memberi perhatian kepada kronosistem
sebagai sistem lingkungan yang penting. Dia memerhatikan dua problem penting:
(1) banyaknya anak di Amerika yang hidup dalam kemiskinan, terutama dalam
keluarga single-parent; dan (2) penurunan nilai-nilai (Bronferbrenner dkk.,
1996)
Teori
Bronfenbenner telah mendapat banyak popularitas. Teori ini memberikan kerangka
teoritis untuk mengkaji konteks sosial secara sistematis, baik di tingkat mikro
maupun makro. Teori ini juga menjembatani kesenjangan antara teori
behavioral yang berfokus pada setting kecil dan teori antropologi yang
menganalisis setting yang lebih luas. Teorinya memicu perhatian orang
pada arti penting kehidupan anak dari berbagai setting. Misalkan guru
seharusnya tidak hanya mempertimbangkan hal yang terjadi di dalam kelas, tetapi
juga mempertimbangkan apa yang terjadi dalam keluarga, lingkungan, dan teman
sebaya siswanya. (Santrock, Psikologi Pendidikan, 2008)
Para
pengkritik teori Bronfenbenner mengatakan bahwa teorinya tidak banyak memberi
perhatian kepada faktor biologis dan kognitif dalam perkembangan anak. Mereka
juga menunjukkan bahwa teori tersebut tidak membahas perubahan perkembangan
bertahap yang menjadi fokus pada teori-teori seperti teori Piaget dan
Erikson. (Santrock, Psikologi Pendidikan, 2008)
Teaching Strategies dalam Mendidik Anak Berdasarkan Teori
Bronfenbrenner
1. Pandanglah anak sebagai
sosok yang terlibat dalam berbagai sistem lingkungan dan dipengaruhi oleh
sistem-sistem itu. Lingkungan itu antara lain sekolah dan guru, orangtua dan
saudara kandung, komunitas dan tentangga, teman sebaya, media, agama, dan
budaya. (Santrock, Psikologi Pendidikan, 2008)
2. Perhatikan hubungan antara sekolah dan keluarga. Jalin
hubungan ini melalui saluran formal dan informal. (Santrock, Psikologi
Pendidikan, 2008)
3. Sadari arti penting dari
komunitas, status sosioekonomi, dan budaya dalam perkembangan anak. Konteks
sosial yang luas ini bisa sangat mempengaruhi perkembangan anak. (Valsiner,
2000 dalam Santrock, 2008)
2.
Teori Perkembangan Rentang Hidup Erikson
Teori Erikson melengkapi analisis
Bronfenbrenner terhadap konteks social dimana anak tumbuh dan orang-orang yang penting
bagi kehidupan anak. Erikson (1902-1994) mengemukakan teori perkembangan
seseorang melalui delapan tahapan yang kemudian dikenal dengan teori
psikososial.. Kedelapan tahap perkembangan akan dilalui oleh orang di sepanjang
hidupnya, masing-masing tahap terdiri dari tugas perkembangan yang dihadapi
oleh individu yang mengalami krisis. Hasil dari tiap tahap tergantung dari
hasil tahapan sebelumnya, dan resolusi yang sukses dari tiap krisis
adalah penting bagi individu untuk dapat tumbuh secara optimal.Semakin sukses
seseorang mengatasi krisisnya semakin sehat psikologi individu tersebut.
Masing-masing tahap punya sisi positif dan negative.
Tahap I: Oral Sensory (bayi). Tahap psikososial pertama oleh Erikson disebut
sebagai rasa percaya versus rasa tidak percaya (trust versus mistrust).
Dalam tahap ini, bayi berusaha keras untuk mendapatkan pengasuhan, kehangatan,
dan persahabatan yang menyenangkan, sehingga timbul kepercayaan, sebaliknya
ketidakpercayaan akan tumbuh jika bayi diperlakukan terlalu negative atau
diabaikan.
Tahap II: Anal Musculature (masa kanak-kanak
awal). yang kedua disebut sebagai otonomi
versus rasa malu dan ragu (autonomy versus shame and doubt). Tahap ini
terjadi pada masa akhir (late infancy) dan masa belajar berjalan (toddler).
Setelah mempercayai pengasuhnya sang bayi mulai menemukan bahwa tindakannya
adalah tindakannya sendiri. Mereka menyadari kehendaknya sendiri pada tahap ini
anak akan melakukan apa yang diinginkan dan menolak apa yang diinginkan. Jika
bayi dibatasi atau terlalu keras dihukum akan mengembangkan rasa malu dan ragu.
Tahap III: Genital Locomotor (masa kanak-kanak
awal hingga madya). Erikson menyebut
tahap ketiga ini sebagai inisiatif versus rasa bersalah (initiative versus
guilt). Saat anak merasakan dunia social yang lebih luas, mereka
lebih banyak mendapat tantangan ketimbang saat bayi. Untuk mengatasi tantangan
ini mereka harus aktif dan tindakannya mempunyai tujuan. Dalam tahap ini orang
dewasa berharap anak menjadi lebih tanggungjawab.
Tahap IV: Latency (masa kanak-kanak madya
hingga akhir). Tahap ke empat oleh
Erikson disebut sebagai Usaya versus inferioritas.Tahap ini terjadi kira-kira
pada masa sekolah dasar, dari usia enam tahun hingga usia puber atau awal
remaja. Inisiatif anak membuat mereka berhubungan dengan banyak pengalaman
baru.Saat mereka masuk sekolah dasar mereka menggunakan energinya untuk
menguasai pengetahuan dan ketrampilan intelektual. Masa kanak-kanak akhir
adalah masa dimana anak paling bersemangat untuk belajar, saat imajinasi mereka
berkembang. Bahaya masa ini muncul perasaan rendah diri, ketidakproduktivan dan
inkompetensi.
Tahap V: Puberty and Adolescence (masa remaja). Tahap kelima adalah tahapan Erikson yang paling
penting dan paling berpengaruh, yaitu identitas versus kebingungan peran (identity
versus role confusion). Pada tahap ini remaja berusaha untuk mencari
jatidirinya, apa makna dirinya, dan kemana mereka akan menuju. Mereka akan
banyak peran baru dan status dewasa (seperti pekerjaan dan pacaran) Remaja ini
perlu diberi kesempatan mengeksplorasi berbagai cara untuk memahami identitas
dirinya. Apabila remaja tidak cukup mengeksplorasi peran yang berbeda dan tidak
merancang jalan masa depan yang positif, mereka bisa tetap bingung akan
identitas diri mereka.
Tahap VI: Young Adulthood (masa dewasa muda). Tahap ke enam disebut sebagai keintiman versus
kesendirian (intimacy versus isolation). Tugas perkembangannya
adalah membentuk hubungan yang positif dengan orang lain. Erikson
mendeskripsikan intimasi sebagai penemuan diri sendiri tetapi kehilangan diri
sendiri dalam diri orang lain. Bahaya pada tahap ini adalah orang bisa
gagal membangun hubungan dekat dengan pacar atau kawannya dan terisolasi secara
social. Bagi individu seperti ini kesepian bisa membayangi seluruh hidup
mereka.
Tahap VII: Adulthood (masa dewasa menengah). Tahap ini pada masa dewasa pertengahan, sekitar usia 40-an
dan 50-an. Generativity berarti mentransmisikan sesuatu yang positif pada
generasi selanjutnya. Ini bisa berkaitan dengan peran seperti parenting dan
pengajaran. Melalui peran itu orang dewasa membantu generasi selanjutnya untuk
mengembangkan hidup yang berguna. Stagnasi sebagai perasaan tidak bisa
melakukan apa-apa untuk membantu generasi selanjutnya.
Tahap VIII: Maturity (masa dewasa akhir). Tahapan ke delapan dan terakhir oleh Erikson disebut
sebagai integrasi ego versus keputusasaan (ego integrity versus despair).
Pada tahap usia lanjut ini, mereka juga dapat mengingat kembali masa lalu
dan melihat makna, memikirkan apa-apa yang telah mereka lakukan. Jika evaluasi
retrospektif ini positif, mereka akan mengembangkan rasa integritas. Yakni
mereka memandang hidup mereka sebagai hidup yang utuh dan positif untuk
dijalani. Sebaliknya orang tua akan putus asa jika renungan mereka kebanyakan negative.
Tahap Rentang Hidup Erikson
Tahap Erikson
|
Periode Perkembangan
|
Integritas vs putus asa
|
Dewasa akhir (usia 60 tahun keatas)
|
Generative vs stagnasi
|
Dewasa pertengahan (usia 40-an, 50-an)
|
Intimasi vs isolasi
|
Dewasa awal usia (20-an, 30-an)
|
Identitas vs kebingungan identitas
|
Remaja (10 sampai 20)
|
Usaha vs inferioritas
|
Kanak-kanak pertengahan dan akhir (SD, 6 sampai puber)
|
Inisiatif vs rasa bersalah
|
Kanak-kanak awal (prasekolah, 3,5 tahun)
|
Otonomi vs malu dan ragu
|
Masa bayi (tahun kedua)
|
Percaya vs tidak percaya
|
Bayi (tahun pertama)
|
Teaching Strategies dalam
Mendidik Anak Berdasarkan Teori Erikson
1. Dorong anak untuk berinisiatif.
Anak-anak di usia prasekolah dan di program pendidikan untuk kanak-kanak awal
harus diberi banyak kebebasan untuk mengeksplorasi dunia mereka. Mereka
seharusnya diizinkan untuk memilikih beberapa aktivitas sendiri. Jika mereka
meminta melakukan aktivitas tertentu yang masuk akal, permintaan itu harus
dituruti. Beri materi menarik yang akan memicu imajinasi mereka. Anak-anak pada
tahap ini suka bermain. Bermain bukan hanya bermanfaat bagi perkembangan
sosioemosionalnya, tetapi juga merupakan medium penting untuk pertumbuhan
kognitif mereka. Secara khusus ajak mereka bermain dengan rekan seusianya dan
lakukan permainan berfantasi. Bantu anak untuk bertanggung jawab dalam
merapikan kembali mainan dan materi yang mereka pakai. Anak-anak bisa diberi
tanaman atau bunga untuk dirawat dan dibantu untuk merawatnya. Kritik harus
minimum sehingga si anak tidak akan mengembangkan rasa bersalah dan kecemasan
yang selalu tinggi. Anak kecil selalu banyak membuat kesalahan dan suka
mengobrak – abrik barang. Mereka perlu diberi contoh yang baik, bukan kritik
keras. Tata aktivitas dan lingkungan mereka untuk membantu kesuksesannya, bukan
untuk menghambat. Beri mereka tugas-tugas yang tepat untuk perkembangan mereka.
Misalnya, jangan bikin kesal anak dengan menyeluruh mereka duduk dalam waktu
yang lama untuk mengerjakan tugas menulis.
2. Mempromosikan usaha belajar untuk anak-anak sekolah dasar. Guru
bertanggung jawab atas perkembangan usaha belajar anak. Erikson berharap agar
guru bisa menyediakan suasana dimana anak bisa bersemangat untuk belajar.
Meminjam kalimat Erikson guru harus memaksa dengan lembut si anak agar berusaha
menyadari bahwa mereka bisa belajar menyelesaikan sesuatu sendiri. Dimana
sekolah dasar, anak sangat haus akan pengetahuan. Kebanyakan anak SD punya rasa
ingin tahu yang tinggi dan punya motivasi untuk mengerjakan tugas. Menurut
Erikson, adalah penting bagi guru untuk memupuk motivasi untuk menguasai
pengetahuan dan rasa ingin tahu ini. Beri murid tantangan, namun jangan terlalu
memberatkan mereka. Berusahalah sekuat tenaga agar murid jadi produktif, tetapi
jangan terlalu kritis kepada mereka. Bersikaplah toleran pada kesalahan yang
wajar dan pastikan bahwa setiap murid punya peluang untuk meraih keberhasilan.
3. Ajak remaja mengeksplorasi
identitas dirinya. Sadarilah bahwa identitas murid bersifat multidimensional.
Aspek identitas mencakup tujuan mencari kerja, prestasi intelektual, minat pada
hobi, olahraga, musik dan area lainnya. Suruh remaja menulis essai tentang
dimensi-dimensi ini, mengeksplorasi diri mereka dan apa yang ingin mereka
lakukan dalam hidup mereka. Ini akan menstimulasi upaya eksplorasi diri. Juga
dorong murid remaja untuk mendengar debat tentang agama, politik, dan isu
ideologi. Ini akan memicu mereka untuk meneliti perspektif yang berbeda-beda. Ketahuilah
bahwa beberapa peran yang dilakukan remaja adalah tidak permanen. Mereka
mencoba banyak hal saat mereka mencari jati dirinya. Juga sadarilah bahwa
penemuan jati diri tercapai sedikit demi sedikit selama beberapa tahun. Banyak
remaja di sekolah menengah, baru saja mengeksplorasi jati dirinya, disaat saat
ini sangat bermanfaat jika mereka dikenalkan dengan berbagai pilihan karir dan
kehidupan. Ajak remaja untuk bicara dengan penasehat sekolah (guru BP). Tentang
opsi karir dan beragam aspek dari identitas mereka. Undang orang dari beragam
karir yang berbeda dan mintalah mereka berbicara dengan murid-murid anda
tentang pekerjaaan mereka terlepas dari kelas yang anda ajar.
4. Kaji diri anda sebagai seorang
guru dengan lensa delapan tahap Erikson. Misalnya, anda mungkin berada di usia
dimana Erikson mengatakan bahwa isu yang paling penting dalam usia anda saat ini
adalah identitas vs kebingungan identitas atau intimasi vs isolasi. Erikson
percaya bahwa satu dimensi identitas paling penting adalah pekerjaan.
Kesuksesan karir anda sebagai guru dapat merupakan aspek terpenting dalam
identitas diri anda. Aspek penting lain dalam perkembangan masa dewasa awal
adalah hubungan dekat yang positif dengan orang lain. Identitas anda akan
mendapat manfaat dari hubungan yang positif dengan partner dan dengan satu atau
lebih kawan. Banyak guru mengembangkan persahabatan erat dengan guru lain atau
mentornya, dan hubungan ini bisa sangat berguna.
5. Ambil karakteristik yang
bermanfaat dari tahap Erikson lainnya. Guru yang kompeten harus dapat
dipercaya, menunjukkan inisiatif, mau berusaha dan menjadi model untuk
menguasai suatu pelajaran, serta punya motivasi untuk memberi kontribusi
sesuatu yang bermakna bagi generasi selanjutnya. Dalam peran anda sebagai guru,
anda akan secara aktif memenuhi kriteria konsep generativitas Erikson.
B.
Konteks Sosial dalam Perkembanga
Menurut
teori Bronfenbrenner, konteks sosial dimana anak hidup akan banyak
memperngaruhi perkembangan anak. Tiga konsep dimana anak menghabiskan sebagian
besar waktunya ialah keluarga teman sebaya - sepermainan dan sekolah.
1.
Keluarga
Orang tua merupakan pendidik utama dan
pertama bagi anak-anak mereka, karena dari merekalah anak mula-mula menerima
pelajaran (pendidikan). Dengan demikian bentuk pertama dari pendidikan terdapat
dalam kehidupan keluarga. Pada umumnya pendidikan dalam rumah tangga itu bukan berpangkal
tolak dari kesadaran dan pengertian yang lahir dari pengetahuan mendidik,
melainkan secara kodrati. Suasana dan strukturnya memberikan kemungkinan alami
membangun situasi pendidikan. Situasi pendidikan itu terwujud berkat adanya
pergaulan dan hubungan pengaruh mempengaruhi secara timbal balik antara orang
tua dan anak
Anak-anak tumbuh dalam keluarga yang
berbeda-beda. Beberapa orang tua mengasuh dan mendidik anak mereka dengan
benar. Orang tua lainnya bersikap kasar atau mengabaikan anaknya. Beberapa anak
orang tuanya bercerai, anak lainya tinggal bersama orang tua yang lengkap
tanpa perceraian. Anak lainnya ikut keluarga angkat. Beberapa keluarga hidup
dalam kondisi ekonomi yang berkecukupan, beberapa keluarga lainnya hidup dalam
kondisi ekonomi sederhana. Situasi yang bervariasi ini akan mempengaruhi
perkembangan anak dan mempengaruhi murid didalam dan diluar lingkungan sekolah
.
Baumrin yaitu seorang pakar parenting, berpendapat ada 4 bentuk gaya
pengasuhan yaitu :a.
Authoritarian
Perenting
Merupakan gaya asuh yang bersifat menghukum dan membatasi.
Dimana hanya ada sedikit percakapan antara orang tua dan murid, menghasilkan
anak yang tidak kompeten secara sosial.
b.
Authoritative Parenting
Merupakan gaya asuh yang positif yang mendorong anak untuk independen
tapi masih membatasi dan mengontrol tindakan mereka. Perbincangan saling tukar
pendapat diperbolehkan dan orang tua bersikap membimbing dan mendukung.
Menghasilkan anak yang kompeten secara sosial. Anak cenderung mandiri, tidak
cepat puas, gaul, dan memperlihatkan harga diri yang tinggi.
c.
Neglectful Parenting
Gaya asuh dimana orang tua tidak terlibat aktif dan tidak
perduli dengan kehidupan anaknya, orang tua hanya meluangkan sedikit waktu.
Hasilnya anak anak sering bertindak tidak kompeten secara sosial. Mereka
cendrung kurang bisa mengontrol diri, tidak cukup termotifasi untuk berprestasi
d.
Indulgend Parenting
Gaya asuh dimana orang tua sangat terlibat dalam kehidupan
anaknya tapi tidak banyak memberikan batasan atau kekeangan pada perilaku
mereka. Orang tua ini sering membiarkan anak mencari cara sendiri untuk
mencapai tujuannya, bahwa orang tua model ini percaya bahwa kombinasi dukungan
pengasuhan dan sedikit pembatasan akan menbentuk anak kreatif dan percaya
diri.
a. Keluarga yang berubah dalam masyarakat yang berubah
Anak-anak
dari keluarga yang bercerai, perceraian dalam keluarga dapat memberikan dampak
yang kompleks terhadap anak. Hal tersebut tergantung faktor-faktor seperti usia
anak, kekuatan dan kelemahan anaksaat perceraian, tipe parenting, status
social ekonomi dan pelaksanaan fungsi keluarga setelah perceraian. Adanya
system pendukung seperti saudara kawan, guru, dapat menciptakan hubungan
positif yang terus berlanjut anatara ayah dan ibu yang sudah bercerai, kemapuan
memenuhi kebutuhan keuangan dan kualitas sekolah dapat membantu anak dalam
mengatasi situasi perceraian yang menekan.Beberapa cara yang dilakukan guru
untuk membantu anak yang tertekan akibat perceraian:
1) Menghubungi orang tuanya
2) Menyarankan untuk memcari bimbingan professional dalam
maksud bimbingan konseling, yaitu dengan mengadakan pertemuan regular anatara
anak dan orang tua yang dibimbing oleh professional mental atau guru yang
memiliki keahlian khusus
3) Membantu si anak dengan caramemberi perhatian yang lebih dan
member bimbingan kepada mereka agar dapat mengatasi situasi dan berkosentrasi
dalam pelajaran sekolah
4) Anjurkan mereka membaca buku tentang perceraian.
b.
Variasi etnis dalam sosio ekonomi dalam keluarga
keluarga dalam kelompok etnis yang
berbeda akan berfariasi dalam besarnya, strukturnya, dan komposisinya.
Keterikatan mereka dengan jaringan kerabat dan level pendapatan dan
pendidikannya. Keluarga besar lebih lazim dikalangan kelompok minoritas
ketimbang didalam populasi pada umumnya. Misalnya 19% dari keluarga Latino punya
tiga atau empat anak, sementara kelurga Afrika garis Amerika hanya 14%, dan
keluarga kulit putih non garis Latino sebesar 10%. Anak-anak Afrika garis
Amerika dan Latino lebih banyak berinteraksi dengan kakek-nenek, bibi, paman,
sepupu, dan saudara jauh jika diabndingkan dengan anak-anak kulit putih non
Latino.
Keluarga orang tua tunggal lebih umum
dikalangan Afrika dan Amerika dan Latino ketimbang dikalangan warga Amerika
putih non Latino. Orang tu tunggal seringkali tidak punya banyak waktu, uang,
dan energi, ketimbang orang tua lengkap. Orang tua dikalangan etnis minoritas
kurang terdidik dan lebih mungkin berpendapatan rendah ketimbang warga Amerika
kulit putih (Harwood dkk,2002). Namun, banyak keluarga etnis minoritas miskin
berhasil menemukan jalan untuk mendidik anak yang kompoten.
Beberapa aspek dalam kehidupan keluarga
bisa membantu melindungi anak etnis minoritas dari ketidakadilan. Komonitas dan
keluarga dapat menyaring pesan rasis yanf destruktif, dan orang tua dapat
memberikan kerangka acuan alternatif untuk menangkap pesan negatif. Keluarga
besar juga dapat berfungsi sebagai penyanggah penting untuk merenghadapi
stress.
c.
Hubungan keluarga dan sekolah.
Dalam teori Bronfenbenner, hubungan
antara keluarga dan sekolah adalah mesosistem yang penting. Lingkungan sekolah
yang otoritatif akan menguntungkan anak-anak dari keluarga yang berbeda.guru
berpengalaman tahu pentingnya melibatkan orang tua dalam pendidikan anak. Dalam
satu survei, guru menganggap keterlibatan orang tua sebagai prioritas pertama
dalam rangka meningkatkan pendidikan namun, sekolah seringkali tidak menetukan
tujuan atau mengiplementassikan program yang efektif untuk mewujudkan
keterlibatan tersebut.
Pakar pendidikan Joyce Epstein
mengatakan, kebanyakan orang tua tidak banyak tahu tentang pendidikan anak
mereka sehingga, mereka bahkan tidak bisa mengajukan pertanyaan tentang hal
itu. Tingkat keterlibatan yang rendah ini menjadi perhatian para pendidik
karena berhubungan dengan prestasi murid yang rendah. Sebaliknya tingkat
keterlibatan yang tinggi didefenisikan sebagai partisipasi orang tua dalam
rapat sekolah, konferensi guru, pertemuan kelas dan pertemuan sukarela. Tujuan
dari keterlibatan dari keluarga ini adalah dukungan resmi terhadap peran kritis
yang dimaikan keluarga dalam pendidikan anak.
d.
Membentuk hubungan sekolah dan keluarga
Joyce Epstai (1996, 2001: Epstain &
Sanders, 2002) mendeskripsikan enam area dimana hubungan keluarga dan sekolah
dibentuk:
1) Menyediakan bantuan untuk keluarga. Sekolah dapat memberikan
informasi kepada orng tua informasi tentang keterampilan bagaimana cara
keluarga mendidik anak, menerangkan arti penting keluarga , perkembangan anak
dan remaja dan konteks konteks rumah yang bisa memperkaya pembelajaran dikelas.
Guru adalah hal yang sangat penting untuk menciptakan hubungan antara sekolah
dan keluarga.
2) Berkomunikasi secara efektif dengan keluarga mengenai
program sekolah dan kemajuan anak mereka. Hal ini dilakukan dengan mengajak
orang tua untuk mengadakan konferensi guru-orang tua dan fungsi-fungsi
sekolah lainnya. Kehadiran orang tua dapat membuat murid tahu orang tua
memperhatikan prestasi mereka di sekolah.
3) Ajak orang tua untuk menjadi relawan. Disekolah orang
tua sebagai relawaan dan untuk meningkatkan meningkatkan kehadiran dalam
pertemuan sekolah.
4) Libatkan keluarga dengan anak mereka dalam aktivitas belajar
di rumah. Ini menggunakan anatara lain pekerjaan rumah dan aktivitas lain yang
berhubungan dengan kurkulum pelajarann. Orang tua akan beerminat efektif jika
mereka mempelajari strategi tutoring (mengajar) dan mendukung kegiatan sekolah.
5) Libatkan keluarga sebagai partisipan dalam keputusan
sekolah. Orang dua bisan di undang untuk menjadi dewan sekolah, komite sekolah,
penasehat dan organisasi orang tua lainnya. Organisasi orang tua-guru dengan
tujuan untuk melakukan diskusi tujuan pendidikan dan sekolah, metode belajar
yang tepat sesuai dengan usia, disiplin anak, dan kinerja ujian
6) Mengorganisasikan kerjasama komunitas. Membuat hubungan
dengan upaya dan sumber daya komunitas bisnis, gen, perguruan tinggi dan
universitas untuk memperkuat program sekolah, praktek keluarga, dan
pembelajaran murit. Sekolah bisa member keluarga tentang program komunitas dan
layanan komunitas yang bermannfaat bagi mereka.
2.
Teman sebaya
Selain keluarga dan guru, teman
seusia atau teman sebaya juga mempermainkan peran penting dalam
perkembangan anak. Dalam konteks perkembangan anak, teman sebaya (seusia)
adalah anak pada usia yang sama. Sebaya adalah orang dengan tingkat umur dan
kedewasaan yang kira–kira sama. Sebaya memegang peran yang unik dalam
perkembangan anak. Salah satu fungsi terpenting adalah memberikan informasi dan
perbandingan tentang dunia diluar keluarga.
Piaget dan Sullivan memberikan
penjelasan tentang peran sebaya dalam perkembangan sosioemosional. Mereka
menekankan bahwa melalui interaksi sebayalah anak anak dan remaja belajar
sebagaimana berinteraksi dalam hubungan yang simetris dan timbal balik. Dengan
sebaya, anak–anak belajar memformulasikan dan menyatakan pendapat mereka,
menghargai sudut pandang sebaya, menegosiasikan solusi atau perselisihan secara
kooperatif, dan mengubah standart perilaku yang diterima semua.
a. Fungsi teman
sebaya
1) Teman sebaya ialah anak-anak yang tingkat usia dan
kematangannya kurang lebih sama.
2) Salah satu fungsi kelompok teman sebaya yang paling penting
ialah menyediakan suatusumber informasi dan perbandingan tentang dunia di luar
keluarga
3) Relasi yang buruk di antara teman-teman sebaya pada masa
anak-anak diasosiasikan dengan suatu kecenderungan untuk putus sekolah dan
perilaku nakal pada masa remaja
4) Relasi yang harmonis di antara teman-teman sebaya pada masa
remaja diasosiasikan dengan kesehatan mental yang positif pada tengah baya.
b. Status Teman Sebaya
Para developmentalis telah dengan tepat
menunjukkan emapat tipe status teman sebaya: anak popular, anak diabaikan, anak
ditolak, dan anak kontroversial. Anak populer (popular Children) sering
kali dinominasikan sebagai kawan terbaik dan jarang dibenci teman sebayanya.
Anak populer member dukungan, mau mendengar dengan perhatian, menjaga alur
komunikasi dengan kawannya tetap terbuka, cendrung riang, bertindak mandiri,
menunjukkan antusianisme dan perhatian kepada orang lain (Hartup,1983).
Anak diabaikan (neglegted children)
jarang dinominasikan sebagai kawan terbaik, tetapi bukan tidak disukai oleh
kawan seusianya. Anak ditolak (rejected children) jarang
dinominasikan sebagai kawan yang baik dan sering dibenci oleh teman seusianya.
Anak yang ditolak mengalami masalah penyesuaian diri yang serius ketimbang anak
yang diabaikan. Faktor penting dalam memprediksi apakah anak yang ditolak itu
melakukan tindakan jahat atau keluar dari sekolah menengah adalah sikap
agresinya terhadap teman sebayanya pada saat masih sekolah dasar. Anak
controversial (controversial children) sering kali dinominasikan sebagai
teman baik tetapi juga kerap tidak disukai.
Menurut piaget dan Kohlberg, melalui
teman sebaya yang diwarnai dengan memberi dan menerima, anak–anak mengembangkan
pemahaman sosial dan logika moral mereka. Anak–anak menggali prinsip keadilan
dan kebaikan dengan menghadapi perselisihan dengan sebaya. Hubungan sebaya juga
bisa berdampak negatif, ditolak atau diabaikan oleh sebaya membuat beberapa anak
merasa kesepian dan dimusuhi. Lebih jauh, penolakan dan pengabaian oleh sebaya
berhubungan dangan kesehatan mental individu dan masalah kriminal. Sebaya
dapat mengenalkan remaja pada alkohol, obat – obatan, kenakalan dan
bentuk perilaku lain yang dianggap orang dewasa sebagai perilaku maladaptif.
c.
Persahabatan
Persahabatan
memberikan kontribusi pada status teman usia sebaya dan memberikan keuntungan
lainnya:
1) Kebersamaan. Persahabatan memberikan anak partner yang
akrab, seseorang yang bersedia meluangkan waktu dan melakukan kegiatan bersama.
2) Dukungan fisik. Persahabatan memberikan sumberdaya dan
bantuan disaat dibutuhkan
3) Dukungan ego. Persahabatan membantu anak merasakan bahwa
mereka adalah anak yang bisa melakukan sesuatu dan layak dihargai, yang terpenting
adalah penerimaan social dari kawannya.
4) Intimasi/kasih sayang. Persahabatan memberianak suatu
hubungan yang hangat, saling percaya dan dekat dengan orang lain. Dalam hal ini
anak-anak sering kali merasa nyaman mengungkapkan informasi pribadi mereka.(Santrock,
2007).
d. Perubahan Developmen dalam hubungan teman sebaya
Pada masa sekolah dasar, kelompok teman
seusia anak terdiri dari teman seusia dengan jenis kelamin yang sama. Anak
laki-laki saling mengajarkan perilaku maskulin dan anak perempuan mengajarkan
kultur wanita dan biasanya suka berkelompok dengan teman-temannya. Pada masa
remaja awal, partisipasi dalam kelompok teman semakin meningkat . Mereka
membentuk kelompok kecil yang khusus atau disebut Klik (Clique) dan
kesetiaan pada kelompok ini dapat mempengaruhi hidup mereka. Identitas kelompok
dengan klik ini bisa mengaburkan identitas diri. Beberapa klik ini bisa
mengaburkan identitas personal individu. Beberapa jenis klik, misalnya kelompok
anak yang menyukai olah raga, anak populer, anak pintar, pencandu narkoba dan
jagoan. Namun diantara beberapa anak sangat independen dan tak ingin masuk ke
kelompok mana pun. Para remaja biasanya lebih tergantung pada kawan ketimbang
pada orang tua mereka untuk memuaskan kebutuhan akan rasa kebersamaan,
kepastian dan kedekatan.
3.
Sekolah
Sekolah merupakan pusat pendidikan
formal. Tugas sekolah sangat penting dalam menyiapkan anak dalam kehidupan
bermasyarakat. Sekolah bukan semata-mata sebagai konsumen, tapi sekolah juga
sebagai produsen dan pemberi jasa yang erat kaitannya dengan pembangunan.
Pembangunanan tidak mungkin berhasil tanpa tersedianya sumber daya manusia yang
berkualitas sebagai produk pendidikan. Sekolah banyak berperan dalam
mengembangkan social emosional anak karena disekolah mereka mulai bergaul
sebagai bagian dari anggota masyarakat.
a.
Konteks perkembangan sosial
yang terus berkembang di sekolah
konteks
sekolah bervariasi sejak masa kanak-anak awal (taman kanak-kanak), sekolah
dasar hingga remaja. Masa kanak-kanak awal adalah sebuah lingkungan yang
terlindung oleh batas-batas dalam ruang kelas. Dalam setting social yang
terbatas ini, anak-anak berinteraksi dengan satu atau dua guru yang biasanya
perempuan, yang menjadi figure utama dalam kehidupan mereka saat iitu.
Anak-anak berinteraksi dengan teman sebayanya dalam kelompok kecil.
Ruang
kelas merupakan konteks utama disekolah dasar, kelas lebih mungkin dirasakan
sebagai unit social ketimbang kelaspada masa taman kanak-kanak. Pada masa SMP
lapang sosialnya lebih luas bukan hanya ruang kelas saja. Remaja berinteraksi
dengan guru dan teman seuria mereka dari berbagai kalangan dengan latar
belakang kultur yang berbeda. Pada saat ini perilaku remaja makin mengarah pada
interaksi dengan teman, ekstrakulikuler, klub dan komunitas. Murid SMA lebih
menyadari sekolah sebagai system social dan mungkin termotivai untuk menyesuaikan
diri dengannya atau menentang (Santrock, 2007).
b. Pendidikan masa kanak-kanak
awal
Ada banyak variasi cara mendidik anak,
namun banyak pakar yang sepakat agar pendidikan disesuaikan dengan
perkembangannya.Pendidikan yang sesuai secara development pendidikan jenis ini
didasarkan pada pengetahuan perkembangan khas dari anak-anak dalam rentang usia
(ketepatan usia) dan keunikan anak (ketepatan individual). Pendidikan yang
sesuai dengan perkembangan bertentangan dengan praktek yang tidak sesuai dengan
tingkat perkembangan yang mengabaikan metode kongkret dalam mengajar anak.
Pengajaran langsung yang biasa berupa tulis baca, dianggap tidak sesuai dengan
perkembangan. Pendidikan yang tepat adalah pendidikan secara development.
Berikut ini
beberapa tema pendidikan yang tepat secara developmental (Santrock, 2007):
1) Domain perkembangan anak-fisik, kognitif dan sosioemosional
adalah domain yang berkaitan dan perkembangan dalam satu domain dapat
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh domain lainnya.
2) Perkembangan terjadi dalam urutan yang relative teratur
dengan kemampuan, keahlian dan pengetahuan yang terbentuk kemudian akan
didasarkan kepada keahlian, kemampuan dan pengetahuan yang telah diperoleh
sebelumnya.
3) Variasi individual mengkarakterisasi perkembangan anak. Setiap
anak adalah individu yang yang unik dan semua anak punya kekuatan, kebutuhan,
dan minat masing-masing. Mengenai variasi individu ini merupakan aspek utama
untuk menjadi guru yang kompeten.
4) Perkembangan dipengaruhi oleh konteks social dan kultural yang
beragam. Guru harus mengajar kultur mayoritas anak jika kultur mereka berbeda
dengan kulturnya sendiri.
5) Anak-anak adalah pelajar aktif dan harus didorong untuk
mengkontruksi pemahaman duniadisekitar. Anak-anak memberi kontribusiproses
belajar mereka sendiri saat mereka berusaha member makna atas pengalaman
keseharian mereka.
6) Perkembangan akan meningkat jika anak diberi kesempatan
untuk mempraktikkan keahlian baru dan jika anak merasakan tantangan diluar
kemampuan mereka saat itu.
7) Anak-anak akan berkembang dengan amat baik dalam konteks
komunitas dimana mereka aman dan dihargai, kebutuhan fisik terpenuhi dan mereka
merasa aman secara psikologis.
c. Transisi ke sekolah dasar
Saat menjalani transisi ke sekolah
dasar, mereka berinteraksi dan megembangkan hubungan dengan anak baru sekolah
memberi mereka banyak sumber ide untuk membentuk pemahaman tentang diri mereka.
d.
Sekolah untuk remaja
Ada perhatian khusus berkenaan dengan
sekolah untuk remaja: (1) transisi dari SMP ke SMA, (2) sekolah yang efektif
untuk remaja, (3) peningkatan kualitas sekolah menengah. Pada masa ini murid
merasa lebih tidak tergantung pada orang tua dan lebih ingin menghabiskan
banyak waktu dengan kawan-kawannya.
Berdasarkan pengamatan dan rekomendasi
dari pakar dan pengamat pendidikandiseluruh negeri ada tiga ciri-ciri utama
dari sekolah-sekolah terbaik:
1) Sekolah yang mampu menyesuaikan semua kegiatan sekolah
dengan variasi individu dalam pengembangan fisik, kognitif, dan sosioemosional
murid-muridnya.
2) Mereka memandang serius apa yg dikenal sebagai perkembangan
remaja awal. Beberapa SMP hanya mempersispkan siswanya untuk masuk ke jenjang
yang lebih tinggi. Salah satu contohnya ada sekolah efektif membuat kelompok
kecil, dimana murid bekerjasama dengan sekelompok kecil guru yang berbeda-beda,
tergantung kepada kebutuhan murid.
3) Sekolah-sekolah yang banyak perhatian pada perkembangan
sosioemosional dan kognitif
Menurut Carrnegie untuk meningkatkan
kualitas dan mutu sekolah mengah dilakukan hal-hal berikut ini:
1) Pengembangan komunitas atau rumah yang lebih kecil untuk
mengurangi sifat impersonal dari sekolah.
2) Melibatkan orang tua dan tokoh masyarakat dalam sekolah.
3) Menyusun kurikulum yang dapat menghasilkan murid melek
huruf, memahami sains, dan punya pemahaman tentang kesehatan, etika, dan
kewarganegaraan
4) Membentuk tim guru dan kurikulum yang lebih fleksibel yang
mengintegrasikan beberapa disiplin ilmu, bukan sekedar memberi pelajaran kepada
murid dengan jam-jam pelajar selama 50 menit yang terpisah dan tak terkait
satu sama lain.
5) Meningkatkan kesehatan dan kebugaran murid melalui program
disekolah dan membantu murid yang butuh perawatan kesehatan.
C.
Perkembangan Sosioemosional
Sejauh ini kita telah mendiskusikan
konteks penting yang mempengaruhi perkembangan sosioemosional pada murid pada
keluarga, teman seusia, dan sekolah. Pada bagian ini kita akan memfokuskan pada
murid itu sendiri yang berkaitan dengan perkembangan diri dan moralitas anak.
1.
Diri (Self)
Diri, para psikolog sering menyebut
“aku” ini sebagai “diri” (self). Ada dua aspek penting dalam diri ini, yakni harga diri (self-esteem) dan
identitas diri.
a. Penghargaan diri
(self-esteem)
adalah pandangan keseluruhan dari
individu tentang dirinya sendiri. Penghargaan ini juga dinamakan martabat diri
(self-worth) atau gambaran diri (self-image). Misalnya anak yang punya
penghargaan diri yang tinggi mungkin tidak hanya memandang dirinya sebagai
seseorang tetapi juga sebagai seseorang yang baik. Rogers (1961) mengatakan
bahwa sebab utama seseorang mempunyai penghargaan diri yang rendah (atau
rendah diri) adalah karena mereka tidak diberikan dukungan emosional dan penerimaan
social yang memadai.
Para peneliti telah menemukan bahwa
harga diri murid berubah pada saat mereka berkembang. Dalam suatu studi baik
itu laki-laki atau perempuan mempunyai hatga diri yang tinggi pada saat
anak-anak dan menurun pada masa remaja awal (Robins, dkk). Penghargaan diri
anak gadis turun dua kali lebih besar dari anak laki-laki selama masa
remaja. Diantara beberapa alasan yang menjadi penyebab menurunnya harga
diri ini adalah akibat gejolak selama perubahan fisik (pubertas), meningkatnya
tuntutan untuk berprestasi, dan kurangnya dukungan dari sekolah dan orang tua.
Riset menyarankan empat kunci untuk
meningkatkan rasa harga diri anak (Bednar, Well & Peterson, 1995, Harter,
1999):
1) Identifikasi penyebab rendah diri dan area kompetensi yang
penting bagi diri. Apakah rendah diri karena prestasi sekolah? Karena konflik?
Kemampuan social rendah? Murid mempunyai harga diri tinggi ketika mereka bisa
kompeten dan sukses dalam melakukan sesuatu di area yang mereka anggap penting.
2) Berikan dukungan emosional dan penerimaan social. Disetiap
kelas punya anak yang banyak nilai buruknya. Mungkin anak ini berasal dari
keluarga yang suka menghina dan merendahkan si anak atau mungkin murid ini di
kelas yang terlalu banyak memberikan penilaian negative. Dukungan
emosional dan penerimaan social anda dapat amat membantu mereka menghargai diri
mereka sendiri.
3) Bantu anak untuk mencapai tujuan atau prestasi. Prestasi
bida menaikkan harga diri. Pengajaran atau kursus ketrampilan akademik secara
langsung dapat menaikan prestasi anak, dan akibatnya dapat menaikkan harga diri
anak.
4) Kembangkan ketrampilan mengatasi masalah. Ketika anak
mempunyai problem dan bisa mengatasinya, bukan menghindarinya, maka rasa harga
dirinya akan naik. Murid yang mau mengatasi masalah kemungkinan akan menghadai
problem secara jujur dan realistis, ini menghasilkan pemikiran yang positif
tentang diri mereka sendiri yang akibatnya bisa meningkatkan harga diri mereka.
b. Perkembangan identitas
Aspek penting lain selain diri adalah
identitas. Menurut Erikson (1968) persoalan paling penting dalam diri remaja
adalah perkembangan identitas yang berupa pencarian jawaban atas pertanyaan
seperti: Siapa saya? Seperti apakan saya ini? Apa yang akan saya lakukan dalam
hidup ini? Pertanyaan-pertanyaan ini jarang muncul pada masa kanak-kanak tetapi
sering muncul dimasa remaja dan perguruan tinggi.
Erikson menyimpulkan bahwa adalah penting untuk membedakan
antara eksplorasi dan komitmen. Eksplorasi adalah pencarian identitas
alternative yang bermakna. Komitmen adalah menunjukkan penerimaan personal pada
satu identitas dan menerima apapun implikasi dari identitas itu. Berdasarkan
klasifikasinya menurut komitmen dan eksplorasi terdapat empat tipe identitas.
Empat Status IdentitasMarcia
Apakah orang itu membuat komitmen
|
|||
Ya
|
Tidak
|
||
Apakah orang itu mengeksplorasi alternative yang bermakna
yang berhubungan dengan persoalan identitas
|
Ya
|
Identity achievement
|
Identity moratorium
|
Tidak
|
Identity foreclosure
|
Identity diffusion
|
1) Identity Achievement,
terjadi ketika individu telah mengalami krisis dan telah membuat komitmen.
2) Identity diffusion,
terjadi ketika individu belum mengalami krisis (yakni belum mengeksplorasi
altrenatif yang bermakna) atau membuat komitmen. Mereka belum memutuskan
pilihan pekerjaan dan ideology.
3) Identity Foreclosure,
terjadi saat individu membuat komitmen tetapi belum mengalami krisis.
4) Identity Moratorium,
terjadi ketika individu berada ditengah-tengah krisis tetapi komitmen mereka
tidak ada atau baru didefinisikan secara samar-samar.
2.
Perkembangan Moral
Hanya sedikit orang yang netral
terhadap perkembangan moral. Banyak orang tua menghawatirkan kelau anak mereka
tumbuh tanpa membawa nilai tradisional mereka. Perkembangan moral berkaitan
dengan aturan dan konvensi tentang interaksi yang adil antar orang. Atura ini
dikaji dalam tiga domain, yaitu kogbitif, behavioral, dan emosional.
Dalam domain kognitif isu kuncinya
adalah bagaimana murid menalar atau memikirkan aturan untuk perilaku etis.
Dalam domain behavioral fokusnya adalah pada bagaimana murid
berperilaku secara actual. Dalam domain emosional penekanannya adalah pada
bagaimana murid merasakan secara moral. Misalnya apakah perasaan bersalah yang
kuat dipakai untuk menahan diri untuk tidak melakukan tindakan yang tiak
bermoral? Apakah mereka menunjukkan empati kepada orang lain?
a.
Teori Piaget.
Piaget menyusun teori tentang tahap
perkembangan moral dengan tahap perkembangan.
1) Heteronomous morality adalah tahap perkembangan moral pertama menurut Piaget.
Tahap ini berlangsung kira-kira usia empat sampat tujuh tahun. Pada tahap ini
keadilan dan aturan dianggap sebagai bagian dari dunia yang tak bisa diubah,
dikontrol oleh orang.
2) Autonomous morality adalah tahap perkembangan moral kedua, yang tercapai pada
usia 10 tahun atau lebih. Pada tahap ini anak mulai mengetahui bahwa aturan dan
hukum adalah perbuatan manusia dan bahwa dalam menilai suatu perbuatan, niat
pelaku dan konsekwensinya harus dipikir. Anak dalam usia tujuh sampai sepuluh
tahun adalah masa transisi, dan karenanya mereka menunjukkan ciri-ciri dari
kedua tahap ini.
b.
Teori Kohlberg
Seperti Piaget Kohlberg menandaskan
bahwa perkembangan moral terutama melibatkan penalaran (reasoning) moral
berlangsung pada tahapan-tahapan.Konsep penting untuk memahami teri Kohlberg
adalah internalisasi, yang berarti perubahan perkembangan dari perilaku yang
dikontrol secara eksternal ke perilaku yang dikontrol secara internal.
1) Preconventional reasoning(penalaran prakonvensional) adalah level terbawah dari
perkembangan moral dalam teori Kohlberg. Pada level ini anak tidak menunjukkan
internalisasi nilai-nilai moral. Penalaran moral dikontrol oleh hukuman dan
ganjaran eksternal.
2) Conventional reasoning (penalaran konvensional) adalah tahap kedua atau tahap
menengah. Pada level ini internalisasi masih setengah-setengah (intermediate). Anak
patuh secara internal pada standar tertentu, tetapi standar itu pada dasarnya
ditetapkan oleh orang lain, seperti orang tua atau aturan social.
3) Postconventional reasoning (penalaran post konvensional) adalah level tertinggi dalam
teori Kohlberg. Pada level ini moralitas telah sepenuhnya diinternalisasikan
dan tidak didasarkan padastandar eksternal.
Kritik terhadap teori Kohlberg.
Teori Kohlberg ini mendapatkan penentangan (Turiel, 1998), salah satu kritik
yang kuat diarahkan pad aide bahwa pemikiran moral tidak selalu memprediksi
perilaku moral. Kritik ini menyatakan bahwa teori Kohlberg terlalu banyak
menekankan pada pemikiran moral dan tidak memberikan perhatian yang cukup pada perilaku
moral. Alasan moral terkadang dapat menjadi dalih untuk perilaku yang tak
bermoral. Penjahat perbankan dan Presiden AS bisa saja mendukung nilai moral
yang luhur, tetapi perilakunya terbukti tidak bermoral.
Kritik lain menyatakan Kohlberg terlalu
individualistis. Carol Gilligan (1982, 1998) membedakan antara perspektif
keadilan (justice) dan perspektif perhatian (care). Perspektif keadilan
yang berfokus pada hak-hak individual, yang berdiri sendiri dan menentukan
moral sendiri. Perspektif perhatian memandang orang-orang sebagai individu yang
saling berhubungan (connectedness). Penekanannya adalah pada hubungan dan
perhatian pada oraang lain.
c.
Pendidikan Moral.
Topik ini menjadi topic yang menarik
dalam lingkungan pendidikan. Dewey (1933) mengakui bahwa ketika sekolah
tidak memberikan pelajaran khusus untuk pendidikan moral, sekolah memberikan
pendidikan moral melalui “kurikulum tersembunyi”. Kurikulum tersembunyi
diberikan melalui atmosfir moral yang menjadi bagian dari setiap sekolah.
Suasana moral ini diciptakan oleh aturan sekolah dan aturan kelas, orientasi
moral dari guru dan administrator, dan teks materi pelajaran. Guru
bertindak sebagai model perilaku etis dan tidak etis. Melalui aturan sekolah
memasukkan system nilai ke sekolah.
1)
Pendidikan karakter. Pendidikan karakter adalah pendekatan langsung pada
pendidikan moral, yakni mengajari murid dengan pengetahuan moral dasar untuk mencegah
mereka melakukan tindakan tak bermoral yang membahayan orang lain, dan dirinya
sendiri. Argumennya adalah bahwa perilaku seperti berbohong, mencuri adalah
keliru dan murid harus diajari hal ini melalui pendidikan mereka. (Nucci,
2001).
2)
Klarifikasi nilai-nilai. Pendekatan untuk pendidikan moral yang menekankan pada
upaya membantu orang untuk mengklarifikasi untuk apa hidup mereka dan apa yang
layak untuk dikerjakan dalam hidup ini. Murid didorong untuk mendefinisikan
sendiri nilai-nilai mereka dan memahami nilai diri orang lain.
3)
Pendidikan moral kognitif. Pendekatan yang didasarkan pada keyakinan bahwa murid harus
mempelajari hal-hal seperti demokrasi dan keadilan saat moral mereka
sedang berkembang. Teori Kohlberg telah dijadikan sebagai landasan untuk banyak
upaya pendidikan moral kognitif.
4)
Pembelajaran Pelayanan. Pembelajaran layanan (service learning) adalah sebentuk
pemdidikan yang mempromosikan tanggungjawab social dan pelayanan kepada
komunitas. Dalam pembelajaran layanan ini murid mungkin dilibatkan dalam
tutoring, membantu orang jompo, magang dirumah sakit, membantu pusat perawatan.
Tujuan penting dari pembelajaran layanan ini adal;ah agar siswa tidak egois dan
lebih termotivasi untuk membantu orang lain. (Furco & Billing, 2001; Waterman,
1977).
5) Perilaku Prososial.
Perilaku prososial adalah sisi positif dari perkembangan moral (yang jauh
berbeda dengan perilaku antisocial seperti menipu, bohong, dan mencuri).
Perilaku prososial adalah perilaku yang dianggap bersifat adil, berbagi
perhatian, atau empatik (Eisenberg & Fabes, 1988).
PERKEMBANGAN SOSIOEMOSIONAL ANAK
0 Response to "PERKEMBANGAN SOSIOEMOSIONAL ANAK"
Post a Comment